ANTARA ADAT DAN IBADAH
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari
Ini adalah sub kajian yang sangat penting
yang membantah anggapan orang yang dangkal akal dan ilmunya, jika bid’ah atau
ibadah yang mereka buat diingkari dan dikritik, sedang mereka mengira melakukan
kebaikan, maka mereka menjawab : “Demikian ini bid’ah ! Kalau begitu, mobil
bid’ah, listrik bid’ah, dan jam bid’ah!”
Sebagian orang yang memperoleh sedikit dari
ilmu fiqih terkadang merasa lebih pandai daripada ulama Ahli Sunnah dan orang-orang
yang mengikuti As-Sunnah dengan mengatakan kepada mereka sebagai pengingkaran
atas teguran mereka yang mengatakan bahwa amal yang baru yang dia lakukan itu
bid’ah seraya dia menyatakan bahwa “asal segala sesuatu adalah diperbolehkan”.
Ungkapan seperti itu tidak keluar dari mereka
melainkan karena kebodohannya tentang kaidah pembedaan antara adat dan ibadah.
Sesungguhnya kaidah terseubut berkisar pada dua hadits.
Pertama : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
“Artinya : Barangsiapa melakukan hal yang
baru dalam urusan (agama) kami ini yang tidak ada di dalamnya, maka amal itu
tertolak”.
Hadits ini telah disebutkan takhrij dan
syarahnya secara panjang lebar.
Kedua : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam peristiwa penyilangan serbuk sari kurma yang sangat masyhur.
“Artinya : Kamu lebih mengetahui tentang
berbagai urusan duniamu”
Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim
(1366) dimasukkan ke dalam bab dengan judul : “Bab Wajib Mengikuti Perkataan
Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dalam Masalah Syari’at Dan Yang Disebutkan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Tentang Kehidupan Dunia Berdasarkan
Pendapat”, dan ini merupakan penyusunan bab yang sangat cermat
Atas dasar ini maka sesungguhnya penghalalan
dan pengharaman, penentuan syari’at, bentuk-bentuk ibadah dan penjelasan
jumlah, cara dan waktu-waktunya, serta meletakkan kaidah-kaidah umum dalam
muamalah adalah hanya hak Allah dan Rasul-Nya dan tidak ada hak bagi ulil amri
[1] di dalamnya. Sedangkan kita dan mereka dalam hal tersebut adalah sama. Maka
kita tidak boleh merujuk kepada mereka jika terjadi perselisihan. Tetapi kita
harus mengembalikan semua itu kepada Allah dan Rasul-Nya.
Adapun tentang bentuk-bentuk urusan dunia
maka mereka lebih mengetahui daripada kita. Seperti para ahli pertanian lebih
mengetahui tentang apa yang lebih maslahat dalam mengembangkan pertanian. Maka
jika mereka mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan pertanian, umat wajib
mentaatinya dalam hal tersebut. Para ahli perdagangan ditaati dalam hal-hal
yang berkaitan dengan urusan perdagangan.
Sesungguhnya mengembalikan sesuatu kepada
orang-orang yang berwenang dalam kemaslahatan umum adalah seperti merujuk
kepada dokter dalam mengetahui makanan yang berbahaya untuk dihindari dan yang
bermanfaat darinya untuk dijadikan santapan. Ini tidak berarti bahwa dokter
adalah yang menghalalkan makanan yang manfaat atau mengharamkan makanan yang
mudharat. Tetapi sesungguhnya dokter hanya sebatas sebagai pembimbing sedang
yang menghalalkan dan mengharamkan adalah yang menentukan syari’at (Allah dan
Rsul-Nya), firmanNya.
“Artinya : Dan menghalalkan bagi mereka
segala hal yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk”
[Al-Araf : 157] [2].
Dengan demikian anda mengetahui bahwa setiap
bid’ah dalam agama adalah sesat dan tertolak. Adapun bid’ah dalam masalah dunia
maka tiada larangan di dalamnya selama tidak bertentangan dengan landasan yang
telah ditetapkan dalam agama [3]. Jadi, Allah membolehkan anda membuat apa yang
anda mau dalam urusan dunia dan cara berproduksi yang anda mau. Tetapi anda
harus memperhatikan kaidah keadilan dan menangkal bentuk-bentuk mafsadah serta
mendatangkan bentuk-bentuk maslahat.” [4]
Adapun kaidah dalam hal ini menurut ulama
sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah [5] adalah : “Sesungguhnya amal-amal
manusia terbagi kepada : Pertama, ibadah yang mereka jadikan sebagai agama,
yang bermanfaat bagi mereka di akhirat atau bermanfaat di dunia dan akhirat.
Kedua, adat yang bermanfaat dalam kehidupan mereka. Adapun kaidah dalam hukum
adalah asal dalam bentuk-bentuk ibadah tidak disyari’atkan kecuali apa yang
telah disyariatkan Allah. Sedangkan hukum asal dalam adat [6] adalah tidak
dilarang kecuali apa yang dilarang Allah”.
Dari keterangan diatas tampak dengan jelas
bahwa tidak ada bid’ah dalam masalah adat, produksi dan segala sarana kehidupan
umum”.
Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh
Syaikh Mahmud Syaltut dalam kitabnya yang sangat bagus, Al-Bid’ah Asabbuha wa
Madharruha (hal. 12 –dengan tahqiq saya), dan saya telah mengomentarinya sebagai
berikut, “Hal-hal tersebut tiada kaitannya dengan hakikat ibadah. Tetapi hal
tersebut harus diperhatikan dari sisi dasarnya, apakah dia bertentangan dengan
hukum-hukum syari’at ataukah masuk di dalamnya”.
Di sini terdapat keterangan yang sangat
cermat yang diisyaratkan oleh Imam Syathibi dalam kajian yang panjang dalam
Al-I’tisham (II/73-98) yang pada bagian akhirnya disebutkan, “Sesungguhnya
hal-hal yang berkaitan dengan adat jika dilihat dari sisi adatnya, maka tidak
ada bid’ah di dalamnya. Tetapi jika adat dijadikan sebagai ibadah atau
diletakkan pada tempat ibadah maka ia menjadi bid’ah”.
Dengan demikian maka “tidak setiap yang belum
ada pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga belum ada pada masa
Khulafa Rasyidin dinamakan bid’ah. Sebab setiap ilmu yang baru dan bermanfaat
bagi manusia wajib dipelajari oleh sebagian kaum muslimin agar menjadi kekuatan
mereka dan dapat meningkatkan eksistensi umat Islam.
Sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang baru
dibuat oleh manusia dalam bentuk-bentuk ibadah saja. Sedangkan yang bukan dalam
masalah ibadah dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syari’at maka bukan
bid’ah sama sekali” [7]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id
An-Nuraniyah Al-Fiqhiyah (hal. 22) berkata, “ Adapun adat adalah sesuatu yang
bisa dilakukan manusia dalam urusan dunia yang berkaitan dengan kebutuhan
mereka, dan hukum asal pada masalah tersebut adalah tidak terlarang. Maka tidak
boleh ada yang dilarang kecuali apa yang dilarang Allah. Karena sesungguhnya
memerintah dan melarang adalah hak prerogratif Allah. Maka ibadah harus
berdasarkan perintah. Lalu bagaimana sesuatu yang tidak diperintahkan di hukumi
sebagai hal yang dilarang?
Oleh karena itu, Imam Ahmad dan ulama fiqh
ahli hadits lainnya mengatakan, bahwa hukum asal dalam ibadah adalah tauqifi
(berdasarkan dalil). Maka, ibadah tidak disyariatkan kecuali dengan ketentuan
Allah, sedang jika tidak ada ketentuan dari-Nya maka pelakunya termasuk orang
dalam firman Allah.
“Artinya : Apakah mereka mempunyai para
sekutu yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah?”
[Asy-Syuraa : 21]
Sedangkan hukum asal dalam masalah adat
adalah dimaafkan (boleh). Maka, tidak boleh dilarang kecuali yang diharamkan
Allah.
“Artinya : Katakanlah. Terangkanlah kepadaku
tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya
haram dan (sebagiannya) halal. ‘Katakanlah, ‘Apakah Allah telah memberikan izin
kepadamu (tentang ini) ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” [Yunus
: 59]
Ini adalah kaidah besar yang sangat berguna.
[8]
Yusuf Al-Qaradhawi dalam Al-Halal wal Haram
fil Islam (hal.21)berkata, “Adapun adat dan muamalah, maka bukan Allah
pencetusnya, tetapi manusialah yang mencetuskan dan berinteraksi dengannya,
sedang Allah datang membetulkan, meluruskan dan membina serta menetapkannya
pada suatu waktu dalam hal-hal yang tidak mendung mafsadat dan mudharat”.
Dengan mengetahui kaidah ini [9], maka akan
tampak cara menetapkan hukum-hukum terhadap berbagai kejadian baru, sehingga
tidak akan berbaur antara adat dan ibadah dan tidak ada kesamaran bid’ah dengan
penemuan-penemuan baru pada masa sekarang. Dimana masing-masing mempunyai
bentuk sendiri-sendiri dan masing-masing ada hukumnya secara mandiri.
[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’
Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar
Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah
Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
__________
Foote Note
[1]. Maksudnya ulama dan umara
[2]. Ushul fil Bida’ was Sunan : 94
[3]. Ini batasan yang sangat penting, maka
hendaklah selalu mengingatnya!
[4]. Ushul fil Bida’ was Sunan : 106
[5]. Al-Iqtidha II/582
[6]. Lihat Al-I’tiham I/37 oleh Asy-Syatibi.
[7]..Dari ta’liq Syaikh Ahmad Syakir tentang
kitab Ar-Raudhah An-Nadiyah I/27
[8]. Sungguh Abdullah Al-Ghumari dalam
kitabnya “Husnu At-Tafahhum wad Darki” hal. 151 telah mencampuradukkan kaidah
ini dengan sangat buruk, karena menganggap setiap sesuatu yang tidak terdapat
larangannya yang menyatakan haram atau makruh, maka hukum asal untuknya adalah
dipebolehkan. Dimana dia tidak merincikan antara adat dan ibadah. Dan dengan
itu, maka dia telah membantah pendapatnya sendiri yang juga disebutkan dalam
kitabnya tersebut seperti telah dijelaskan sebelumnya.
[9]. Lihat Al-Muwafaqat II/305-315, karena di
sana terdapat kajian penting dan panjang lebar yang melengkapi apa yang ada di
sini.
BID’AH DAN NIAT BAIK
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari
Ketika sebagian orang melakukan bid’ah,
mereka beralasan bahwa amal mereka dilakukan dengan niat yang baik, tidak
bertujuan melawan syari’at, tidak mempunyai pikiran untuk mengoreksi agama, dan
tidak terbersit dalam hati untuk melakukan bid’ah ! Bahkan sebagian mereka
berdalil dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sesungguhnya segala amal
tergantung pada niat” [Muttafaq Alaihi]
Untuk membentangkan sejauh mana tingkat
kebenaran cara mereka menyimpulkan dalil dan beberapa alasan yang mereka
kemukakan tersebut, kami kemukakan bahwa kewajiban seorang muslim yang ingin
mengetahui kebenaran yang sampai kepadanya serta hendak mengamalkannya adalah
tidak boleh menggunakan sebagian dalil hadits dengan meninggalkan sebagian yang
lain. Tetapi yang wajib dia lakukan adalah memperhatiakn semua dalil secara
umum hingga hukumnya lebih dekat kepada kebenaran dan jauh dari kesalahan.
Demikianlah yang harus dilakukan bila dia termasuk orang yang mempunyai
keahlian dalam menyimpulkan dalil.
Tetapi bila dia orang awam atau pandai dalam
keilmuan kontemporer yang bukan ilmu-ilmu syari’at, maka dia tidak boleh
coba-coba memasuki kepadanya, seperti kata pepatah : “Ini bukan sarangmu maka
berjalanlah kamu!”.
Adapun yang benar dalam masalah yang penting
ini, bahwa sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Sesunnguhnya segala amal
tergantung pada niat” adalah sebagai penjelasan tentang salah satu dari dua
pilar dasar setiap amal, yaitu ikhlas dalam beramal dan jujur dalam batinnya
sehingga yang selain Allah tidak meretas ke dalamnya.
Adapun pilar kedua adalah, bahwa setiap amal
harus sesuai Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti dijelaskan
dalam hadits, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada
keterangannya dari kami maka dia tertolak”. Dan demikian itulah kebenaran yang
dituntut setiap orang untuk merealisasikan dalam setiap pekerjaan dan
ucapannya.
Atas dasar ini, maka kedua hadits yang agung
tersebut adalah sebagai pedoman agama, baik yang pokok maupun cabang, juga yang
lahir dan yang batin. Dimana hadits : “Sesungguhnya segala amal tergantung pada
niat” sebagai timbangan amal yang batin. Sedangkan hadits “Barangsiapa yang
mengerjakan suatu amal yang tidak ada keterangannya dari kami maka dia
tertolak” sebagai tolak ukur lahiriah setiap amal.
Dengan demikian, maka kedua hadits tersebut
memberikan pengertian, bahwa setiap amal yang benar adalah bila dilakukan
dengan ikhlas karena Allah dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, yang keduanya merupakan syarat setiap ucapan dan amal yang lahir maupun
yang batin.
Oleh karena itu, siapa yang ikhlas dalam
setiap amalnya karena Allah dan sesuai sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
was allam, maka amalnya diterima, dan siapa yang tidak memenuhi dua hal
tersebut atau salah satunya maka amalnya tertolak. [1]
Dan demikian itulah yang dinyatakan oleh
Fudhail bin Iyadh ketika menafsirkan firman Allah : “Supaya Dia menguji kamu,
siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya” [2] Beliau berkata, ‘Maksudnya,
dia ikhlas dan benar dalam melakukannya. Sebab amal yang dilakukan dengan
ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan diterima. Dan jika dia benar, tetapi
tidak ikhlas maka amalnya juga tidak diterima. Adapun amal yang ikhlas adalah
amal yang dilakukan karena Allah, sedang amal yang benar adalah bila dia sesuai
dengan Sunnah Rasulullah” [3]
Al-Alamah Ibnul Qayyim berkata [4], “Sebagian
ulama salaf berkata, “Tidaklah suatu pekerjaan meskipun kecil melainkan
dibentangkan kepadanya dua catatan. Mengapa dan bagaimana ? Yakni, mengapa kamu
melakukan dan bagaimana kamu melakukan ?
Pertanyaan pertama tentang alasan dan
dorongan melakukan pekerjaan. Apakah karena ada interes tertentu dan tujuan
dari berbagai tujuan dunia seperti ingin dipuji manusia atau takut kecaman
mereka, atau ingin mendapatkan sesuatu yang dicintai secara cepat, atau
menghindarkan sesuatu yang tidak disukai dengan cepat ? Ataukah yang mendorong
melakukan pekerjaan itu karena untuk pengabdian kepada Allah dan mencari
kecintaan-Nya serta untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ?
Artinya, pertanyaan pertama adalah, apakah
kamu mengerjakan amal karena Allah, ataukah karena kepentingan diri sendiri dan
hawa nafsu?
Adapun pertanyaan kedua tentang mengikuti
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengabdian itu. Artinya, apakah
amal yang dikerjakan sesuai syari’at Allah yang disampaikan Rasul-Nya? Ataukah
pekerjaan itu tidak disyari’atkan Allah dan tidak diridhai-Nya?
Pertanyaan pertama berkaitan dengan ikhlas
ketika beramal, sedangkan yang kedua tentang mengikuti Sunnah. Sebab Allah
tidak akan menerima amal kecuali memenuhi kedua syarat tersebut. Maka agar
selamat dari pertanyaan pertama adalah dengan memurnikan keikhlasan. Sedang
agar selamat dari pertanyaan kedua adalah dengan mengikuti Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengerjakan setiap amal. Jadi amal yang
diterima adalah bila hatinya selamat dari keinginan yang bertentangan dengan
ikhlas dan juga selamat dari hawa nafsu yang kontradiksi dengan mengikuti
Sunnah”.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya (I/231) berkata,
“Sesungguhnya amal yang di terima harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas
karena Allah. Kedua, benar dan sesuai syari’at. Jika dilakukan dengna ikhlas,
tetapi tidak benar, maka tidak akan diterima”.
Pernyataan itu dikuatkan dan dijelaskan oleh
Ibnu Ajlan, ia berkata, “Amal tidak dikatakan baik kecuali dengan tiga kriteria
: takwa kepada Allah, niat baik dan tepat (sesuai sunnah)” [5]
Kesimpulannya, bahwa sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallamn, “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” itu
maksudnya, bahwa segala amal dapat berhasil tergantung pada niatnya. Ini adalah
perintah untuk ikhlas dan mendatangkan niat dalam segala amal yang akan
dilakukan oleh seseorang dengan sengaja, itulah yang menjadi sebab adanya amal
dan pelaksanaannya. [6]
Atas dasar ini, maka seseorang tidak
dibenarkan sama sekali menggunakan hadits tersebut sebagai dalil pembenaran
amal yang batil dan bid’ah karena semata-mata niat baik orang yang
melakukannya!
Dan penjelasan yang lain adalah, bahwa hadits
tersebut sebagai dalil atas kebenaran amal dan keikhlasan ketika melakukannya,
yaitu dengan pengertian, “Sesungguhnya segala amal yang shalih adalah dengan
niat yang shalih”
Pemahaman seperti ini sepenuhnya tepat dengan
kaidah ilmiah dalam hal mengetahui ibadah dan hal-hal yang membatalkannya.
Dan diantara yang menguatkan bahwa
diterimanya amal bukan hanya karena niat baik orang yang melakukannya saja,
tetapi harus pula sesuai dengan Sunnah adalah hadits sebagai berikut.
“Artinya : Bahwa seseorang berkata kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apa yang Allah kehendaki dan apa yang
engkau kehendaki”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,
“Apakah kamu menjadikan aku sebagai tandingan bagi Allah? Tetapi katakanlah :
“Apa yang dikehendaki Allah semata” [7]
Niat baik dan keikhlasan hati sahabat yang
agung ini tidak diragukan. Tetapi ketika ucapan yang keluar darinya bertolak
belakang dengan manhaj Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam akidah dan
bertutur kata, maka Rasulullah mengingkari seraya mengingatkan kesalahannya dan
menjelaskan yang benar tanpa melihat niatnya yang baik.
Hadits tersebut [8] adalah pokok dalil dalam
sub kajian ini.
[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh
Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia
Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi
Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
__________
Foote Note
[1]. Bahjah Qulub Al-Abrar : 10 Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
[2]. Al-Mulk : 2
[3]. Hilyatu Auliya : VIII/95, Abu Nu’aim.
Dan lihat Tafsir Al-Baghawi V/419, Jami’ul Al-Ulum wal Hikam : 10 dan Madarij
As-Salikin I/83
[4]. Mawarid Al-Aman Al-Muntaqa min Ighatshah
Al-Lahfan : 35
[5]. Jami Al-Ulum wal Hikam : 10
[6]. Lihat Fathul bari : I/13 dan Umdah
Al-Qari : I/25
[7]. Hadits hasan, lihat takhrijnya dalam
risalah saya : At-tasfiyah wat-tarbiyyah : 61
[8]. Dan hadist lain yang seperti itu masih
banyak.
SEBAB-SEBAB BID’AH
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari
Bukan hal yang samar bagi setiap orang, bahwa
setiap kejadian memiliki sebab, yang dengannya dapat diketahui benar atau
salahnya. Adapun sebab terjadinya bid’ah dengan berbagai ragam bentuknya adalah
kembali kepada tiga hal. [1]
Pertama : Kebodohan Tentang Sumber Hukum Dan
Cara Pemahamannya
Sumber hukum syar’i adalah Al-Qur’an dan
Hadits dan apa yang diikutkan dengan keduanya berupa Ijma dan Qiyas. Tetapi
qiyas tidak dapat dijadikan rujukan dalam hukum ibadah. Sebab di antara rukun
dalam qiyas adalah bila ada kesamaan alasan hukum dalam dalil pokok dengan
hukum cabang yang diqiyaskan, padahal ibadah semata-mata didirikan berdasarkan
peribadatan murni.
Sesungguhnya bentuk kesalahan yang
menyebabkan munculnya bid’ah adalah karena kebodohan tentang Sunnah, posisi
qiyas dan tingkatannya, juga tentang gaya bahasa Arab.
Kebodohan terhadap hadits mencakup kebodohan
tentang hadits-hadits shahih dan kebodohan menggunakan hadits-hadits dalam
penentuan hukum Islam. Dimana yang pertama berimplikasi kepada hilangnya hukum,
padahal dasar hukumnya adalah hadits shahih, sedang yang kedua berdampak pada
tidak dipakainya hadits-hadits shahih dan tidak berpedoman kepadanya, bahkan
digantikan posisinya dengan argumen-argumen yang tidak dibenarkan dalam
syari’at.
Sedangkan kebodohan terhadap qiyas dalam
penentuan hukum Islam adalah yang menjadikan ulama fikih generasi khalaf yang
menetapkan qiyas dalam masalah-masalah ibadah dan menetapkannya dalam agama
terhadap apa yang tidak terdapat dalam hadits dan amal, padahal banyaknya kebutuhan
untuk mengamalkannya dan tidak ada yang menghalanginya.
Adapun kebodohan tentang gaya bahasa Arab
adalah yang menyebabkan dipahaminya dalil-dalil bukan pada arahnya. Demikian
itu menjadi sebab adanya hal baru yang tidak dikenal generasi awal.
Sebagai contoh adalah pendapat sebagian
manusia tentang hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Jika kamu mendengar orang adzan
maka katakanlah seperti apa yang dikatakannya kemudian bershalawatlah kepadaku”
[Hadits Riwayat Muslim]
Mereka menganggap hadits tersebut sebagai
perintah kepada orang yang adzan untuk membaca shalawat setelah selesai adzan,
dan beliau memintanya untuk mengeraskan suaranya, sehingga hadits ini dijadikan
dalil disyariatkannya bershalawat dengan suara yang keras. Mereka mengarahkan
arti perintah bershalawat kepada orang yang adzan dengan alasan bahwa
pembicaraan hadits untuk umum kepada semua kaum muslimin, sedangkan orang yang
adzan masuk di dalamnya. Atau bahwa ungkapan “ Jika kamu mendengar” mencakup
kepada orang yang adzan karena dia juga mendengar adzannya sendiri!
Kedua penakwilan tersebut adalah disebabkan
kebodohan tentang gaya bahasa. Sebab permulaan hadits tidak mencakup perintah
kepada orang yang adzan, dan akhir hadits datang sesuai dengan awalnya,
sehingga tidak mencakup juga kepada orang yang adzan.
Sesungguhnya ulama qurun awal berijma
(bersepakat) bahwa mengetahui karakteristik bahasa Arab untuk pemahaman
Al-Qur’an dan Hadits adalah sebagai syarat dasar dalam kebolehan untuk
berijtihad dan menyimpulkan dalil-dalil syar’i.
Adapun kebodohan tentang tingkatan qiyas
dalam sumber hukum Islam, yaitu qiyas boleh dipakai apabila tidak ada hadits
dalam masalah tersebut, kebodohan akan hal ini mengakibatkan suatu kaum
melakukan qiyas padahal terdapat hadits yang kuat, namun mereka tidak mau
kembali kepadanya sehingga mereka terjerumus ke dalam bid’ah.
Bagi orang yang mencermati berbagai pendapat
ulama fiqih niscaya dia mendapatkan banyak contoh tentang hal ini. Dan yang
paling dekat adalah apa yang dikatakan sebagian orang dalam mengqiyaskan orang
yang adzan dengan orang yang mendengarnya dalam perintah membaca shalawat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah adzan. Padahal pendapat hadits yang
sangat jelas mengenai hukum tersebut sebagaimana telah disebutkan, sedangkan
hadits harus di dahulukan atas qiyas. Sebab redaksai, “Jika kamu mendengar
adzan … (sampai akhir hadits)” menunjukkan kekhususan perintah membaca shalawat
setelah adzan hanya kepada orang yang mendengar adzan.
Kedua : Mengikuti Hawa Nafsu Dalam Menetapkan
Hukum
Orang yang terkontaminasi hawa nafsunya bila
memperhatikan dalil-dalil sayr’i, dia akan terdorong untuk menetapkan hukum
sesuai dengan selera nafsunya kemudian berupaya mencari dalil yang dijadikan
pedoman dan hujjah.
Artinya, dia menjadikan hawa nafsu sebagai
pedoman penyimpulan dalil dan penetapan hukum. Demikian itu berarti
pemutarbalikan posisi hukum dan merusak tujuan syari’at dalam menetapkan dalil.
Mengikuti hawa nafsu adalah akar dasar
penyelewengan dari jalan Allah dan lurus. FirmanNya.
“Artinya : Dan siapakah yang lebih sesat
daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari
Allah seikitpun?” [Al-Qashash : 50]
Fakta membutktikan bahwa akibat mengikuti
hawa nafsu menjadikan berbagai peraturan dalam agama menjadi pudar dan setiap
kebaikan menjadi terhapuskan.
Bid’ah karena mengikuti hawa nafsu adalah
bentuk bid’ah yang paling besar dosanya di sisi Allah dan paling besar
pelanggarannya terhadap kebaikan. Sebab betapa banyak hawa nafsu yang telah
merubah syari’at, mengganti agama dan menjatuhkan manusia ke dalam kesesatan
yang nyata.
Ketiga : Menjadikan Akal Sebagai Tolak Ukur
Hukum Syar’i.
Sesungguhnya Allah menjadikan akal terbatas
penalarannya dan tidak menjadikannya sebagai pedoman untuk mengetahui segala
sesuatu. Sebab ada beberapa hal yang sama sekali tidak terjangkau oleh akal dan
ada pula yang terjangkau hanya sebatas lahirnya saja dan bukan substansinya.
Dan karena keterbatasan akal, maka hampir tidak ada kesepahaman tentang hakikat
yang diketahuinya. Sebab kekuatan dan cara pemahaman orang berbeda-beda menurut
para peniliti.
Maka, dalam sesuatu yang tidak dapat
dijangkau akal dan penalaran, menusia harus merujuk kepada pembawa berita yang
jujur yang dijamin kebenarannya karena mu’jizat yang dibawanya. Dia adalah
seorang rasul yang dikuatkan dengan mu’jizat dari sisi Allah Yang Maha
Mengetahui atas segala sesuatu yang Maha cermat dengan apa yang Dia ciptakan.
Atas dasar ini Allah mengutus para rasulNya
untuk mejelaskan kepada manusia apa yang diridhai Pencipta mereka, menjamin
kebahagiaan mereka, dan menjadikan mereka memperoleh keberuntungan dalam
kebaikan dunia dan kebaikan di akhirat.
Sesungguhnya sebab-sebab terjadinya bid’ah
yang kami sebutkan diatas telah tercakup semua sisinya dan terpadunya pokok-pokoknya
dalam hadits.
“Artinya : Akan mengemban ilmu ini dari
setiap generasi, orang-orang yang adil di antara mereka yang akan menafikan
orang-orang yang ekstrim, dan ajaran orang-orang yang melakukan kebatilan serta
penakwilan orang-orang yang bodoh” [2]
Ungkapan “ perubahan orang-orang yang
ekstrim” mengisyaratkan kepada sikap fanatik dan belebihan. Sedang ungkapan
“ajaran orang-orang yang melakukan kebatilan “ mengisyaratkan kepada yang
menganggap baik mendahulukan akal dan mengikuti hawa nafsu dalam menetapkan
hukum syar’i. Lalu ungkapan “penakwilan orang-orang yang bodoh” mengisyaratkan
kepada kebodohan dalam sumber-sumber hukum dan cara pemahamannya dari
sumber-sumbernya.
[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh
Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia
Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi
Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Kitab Al-Bid’ah, karya Syaikh Mahmud
Syaltut : 17-36
[2] .Hadits hasan Lihat Isryad As-Sari I/4
oleh Al-Qasthallani dan Al-Hiththah oleh Shiddiq Hasan Khan : 70
SETIAP KESESATAN DI NERAKA
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari
Ungkapan yang pasti benarnya yang disampaikan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut terasa musykil dalam benak banyak
orang jika mereka dihadapkan kepadanya ketika membuat atau melakukan bid’ah.
Dimana seseorang menjawab dengan rasa tidak senang : “Apakah karena bid’ah yang
kecil ini saya di neraka?”
Untuk menjelaskan masalah ini dan jawaban
terhadap kemusykilan tersebut dapat kita cermati dari dua hal sebagai berikut.
Pertama : Sesungguhnya di antara akidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah adalah, ”Kita tidak menempatkan seseorang dari ahli kiblat
tentang surga atau neraka”. Demikain ini dikatakan oleh Abu Ja’far Ath-Thahawi
dalam kitab Aqidah Ath-Thahawiyah (hal.378) yang disyarahkan oleh Ibnu Abul Izz
Al-Hanafi.
Jadi, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Setiap kesesatan di neraka” merupakan ancaman yang terdapat dalam
banyak hadits dan ayat Al-Qur’an.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata [1] :
“Seseorang yang berilmu terkadang menyebutkan ancaman terhadap sesuatu yang
dilihatnya sebagai perbuatan dosa, padahal dia mengetahui bahwa orang-orang
yang menakwilkannya [2] diampuni dan tidak terkena ancaman. Tetapi dia
menyebutkan hal tersebut untuk menjelaskan bahwa perbuatan dosa mengakibatkan
mendapat siksa. Dia hanya mengingatkan menghalangi orang dari perbuatan dosa”.
Kedua : Bahwa Ibnu Taimiyah dalam Fatawanya
(IV/484) berkata : “Karena nash-nash ancaman [3] bentuknya umum, maka kita
tidak menyatakan dengannya kepada orang tertentu bahwa dia termasuk penghuni
neraka. Sebab kemungkinan tidak berlakunya hukum yang ditetapkan pada orang
yang melakukannya karena adanya penghalang yang kuat, seperti karena taubat,
musibah yang menghapuskan dosa, atau syafa’at yang diterima, dan lain-lain”.
Jadi sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
: “Setiap kesesatan di neraka” adalah sifat terhadap amal yang dilakukan
seseorang dan sifat dari buah amal yang dilakukannya jika tidak disusuli dengan
taubat dan meninggalkannya.
Kemudian ungkapan : “… di neraka” tidak
mengharuskan kekal di neraka atau lama di dalamnya. Tetapi seseorang akan masuk
neraka sesuai maksiat yang diperbuatnya, baik bentuknya bid’ah atau yang lain.
Berdasarkan hal ini, berlaku hukum lain,
yaitu menghalalkan sesuatu yang dilarang dalam agama. Maka siapa yang
menghalalkan bid’ah atau yang lainnya dari bentuk-bentuk maksiat dengan menghalalkan
dalam hatinya padahal dia mengetahui dan mengakui bahwa sesuatu yang dilakukan
tidak ada dasarnya dalam Sunnah, bahkan dia mengetahui, bahwa ia mengoreksi
syari’at [4], maka ketika itulah dia “di neraka” karena dia kufur. Semoga Allah
melindungi kita dari neraka.
At-Thahawi dalam kitabnya Aqidah yang
disarahkan Ibnu Abul Izzi (hal. 316) berkata, “Kita tidak mengkafirkan seorang
ahli kiblat yang berbuat dosa selama dia tidak menghalalkan perbuatan dosa
tersebut”.
Dan tidak syak bahwa bid’ah adalah dosa yang
sangat jelas dan maksiat yang paling nyata [5]. Dan bahwa dalil-dalil yang
mengecamnya dan memerintahkan untuk menjauhinya banyak sekali.
Kesimpulannya, bahwa pendapat-pendapat yang
batil, bid’ah dan diharamkan yang bernuansa menafikan sesuatu yang telah
ditetapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menetapkan sesuatu
yang dinafikannya, atau memerintahkan sesuatu yang dilarangnya, atau melarang
sesuatu yang di perintahkannya, maka kebenaran dikatakan kepadanya dan
disampaikan kepadanya ancaman yang disebutkan dalam nash-nash yang ada.
Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Abul Izz Al-Hanafi dalam Syarah Aqidah
Ath-Thahawiyah (hal.318). [6]
[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh
Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia
Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi
Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
__________
Foote Note
[1]. Majmu Al-Fatawa XXIII/305
[2]. Lihat “Antara Membuat Bid’ah dan
Ijtihad” yang akan disebutkan dalam Bab III Pasal 1 dalam buku ini.
[3]. Lihat Al-Hujjah II/71 oleh Ash-Shabuni
[4]. Lihat Bab I (pengantar), Kesempurnaan
dan Kecukupan Syari’ah.
[5]. Lihat Bab III Pasal 4 “Antara Bid’ah dan
Maksiat”
[6]. Disini kami ingin menyebutkan bahwa saya
tidak melihat karya ulama yang menjelaskan kajian pada pasal ini, menurut hasil
telaah saya dari berbagai buku rujukan. Mudah-mudahan saya mendapatkan taufiq
kepada kebenaran dalam tulisan saya ini, dan Allah adalah yang memberi petunjuk
kepada jalan kebenaran. Kemudian saya melihat isyarat-isyarat tentang sub
kajian ini dalam Manhaj Al-Asya’riyah fil Aqidah : 73-79 Karya Safar Al-Hawali.
MENYIKAPI BUKU-BUKU MENYESATKAN
Oleh
Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman
Kami nasehatkan kepada saudara-saudara kami
untuk memiliki motto :
"Bersama Tinta Sampai Ke Liang
Kubur"
Dan tidak berhenti dalam menuntut ilmu dengan
duduk di majlis-majlis ulama atau sowan langsung kepada mereka dan inilah jalan
yang bermanfaat dan paling menyenangkan. Atau juga bisa menekuni buku-buku yang
telah diterbitkan atau ditahqiq (diteliti) dari warisan ulama terdahulu atau
sekarang[1]
Akan tetapi hasil keilmuan hebat yang
tersebar saat ini di berbagai percetakan tidak seluruhnya mempunyai nilai yang
sama, ada buku-buku yang penting (inipun bertingkat-tingkat), ada juga yang
tidak berguna dan macam ke-3 adalah buku-buku berbahaya yang tidak mempunyai
nilai, yang inipun bertingkat-tingkat. Karenanya kami berpendapat pentingnya
pembahasan yang berisi hukum-hukum fiqih berkaitan dengan buku-buku yang
ditahdzir (diperingatkan) oleh para ulama.
HUKUM JUAL BELI BUKU MENYESATKAN
Wajib bagi para penerbit untuk bertaqwa
kepada Allah Azza wa Jalla dalam memilih tema-tema buku yang bermanfaat bagi
manusia, untuk membenarkan aqidah dan meluruskan ibadah mereka. Hendaklah
mereka berpegang pada kaedah :'Menerbitkan buku yang bermanfaat bagi para
penelaah, bukan buku yang mereka minta."Karena kebanyakan orang umum
meminta buku-buku menyesatkan yang laris dipasaran, sehingga (dengan
menerbitkan buku-buku itu) memberikan keuntungan materi yang segera kepada
penerbit.
Jika manusia membutuhkan buku yang
bermanfaat, kemudian mereka mencarinya maka demikian itu adalah keadaan yang
bagus. Akan tetapi (penerbit) haruslah meniatkan mencari pahala dalam memilih
buku tersebut, sehingga penerbit tidak hanya mendapatkan keuntungan harta
benda. Barangsiapa yang melakukan hal tersebut maka dia mendapat pahala disisi
Allah Shubhanahu wa Ta'ala Insya Allah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu
pernah ditanya tentang orang yang menyalin (menulis) Shahih Bukhari, Shahih
Muslim, dan Al-Qur'an dengan tangannya, dengan niat untuk menulis hadits dan
niat lainnya. Jika ia menyalin tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk
dijual, apakah ia akan mendapat pahala??
Maka beliau menjawab (Majmu' Fatawa 18/74-75)
setelah memuji Shahihain, kitab-kitab sunan, Musnad, dan Muwatho' dengan
redaksi sebagai berikut : Manusia mendapat pahala dengan tulisannya tersebut,
baik ia menulis untuk dirinya atau untuk dijual sebagaimana sabda Nabi
Shalallahu alaihi wa sallam.
"Artinya : Sesungguhnya Allah memasukkan
3 jenis orang kedalam surga dikarenakan satu anak panah (untuk berjihad) :
pembuatnya, pelemparnya, dan orang yang membantunya untuk mengambil anak
panah)"[2]
Saya (Syaikh Masyhur) berkata : "Dan
seperti itu (hukumnya) buku-buku yang bermanfaat (yaitu buku-buku selain mushaf
dan buku hadits) sebagaimana Allah memberi pahala kepada penyusun, maka
penerbitnyapun mendapat pahala juga. Akan tetapi perlu memperhatikan hal-hal
berikut :
[A]. Haram Menjual Buku-Buku Yang Berisi
Syirik Dan Peribadahan Kepada Selain Allah Shubhanahu Wa Ta'ala.
Ibnul Qayyim berkata (Lihat Zaadul Maad
5/761) ketika membahas jual beli yang terlarang : "Dan seperti itu (haram
menjual) buku yang berisi syirik dan ibadah kepada selain Allah.Ini semua wajib
disingkirkan dan dihilangkan karena menjualnya adalah jalan untuk memiliki dan
mengoleksi kitab-kitab tersebut. "Menjual kitab-kitab ini tentu lebih
diharamkan daripada menjual barang-barang yang lain karena bahaya menjualnya
adalah sebanding dengan bahaya yang dikandung oleh buku itu sendiri."
[B]. Haram Menjual Buku-Buku Berisi Khurafat
Dan Perdukunan.
Al-Wanasy-risyi mengatakan : "Sebagian
ulama ditanya tentang buku-buku yang berisi hal-hal yang tidak masuk akal
(termasuk hal ini : cerita bergambar yang terdapat ditaman-taman bacaan, -pent)
dan sejarah yang jelas bohongnya (dongeng, legenda, -pent) seperti kitab tarikh
(legenda/sejarah) 'antarah dan dalhamah dan berisi caci maki, syair, lagu dan
lain-lain. Apakah boleh dijual atau tidak? Maka mereka menjawab :"Tidak
Boleh Dijual dan Dilihat".
Syaikh Abul Hasan al-Bathrani menceritakan
bahwa ia hadir dalam halaqah fatwanya Ibnu Qidah, ketika beliau ditanya tentang
orang yang suka mendengar cerita dari buku 'antarah ,apakah boleh menjadikannya
sebagai imam? Maka Ibnu Qidah menjawab :"Tidak boleh mengangkatnya sebagai
imam dan sebagai saksi.Demikian juga cerita buku Dalhamah, karena itu merupakan
kebohongan, dan orang menghalalkan dusta adalah pendusta.Dan seperti itu (hukum
bagi) buku astrologi (buku tentang perbintangan) dan buku-buku mantra dengan
bahasa yang tidak diketahui." [Lihat Al-Mi'yar Al-Mu'arab 6/70]
Saya berkata (Syaikh Masyhur) :"Adapun
keimamannya adalah sah karena orang gugur / batal shalatnya tidak membatalkan
shalat orang lain. Tetapi tidak seyogyanya menawarkan jabatan imam kecuali
kepada orang yang layak. Dan orang yang seperti ini (hobi dengan cerita-cerita
fiksi, -pent) hendaknya dilarang menjadi imam. Inilah idealnya, wallahu a'lam.
[C]. Tidak Boleh Menjual Buku Yang Banyak
Kesalahannya Kecuali Sesudah Dijelaskan.
Ibnu Rusyd rahimahullahu ditanya tentang
orang yang membeli mushaf al-Qur'an atau buku yang banyak kesalahan dari segi
percetakan, lalu ia ingin menjualnya, apakah ia wajib menjelaskannya? Dan jika
ia menjelaskannya tentu tidak ada yang mau membelinya.
Maka beliau menjawab:"Tidak boleh ia
menjual sehingga dijelaskan, wabillahi taufiq. [Fatawa Ibnu Rusyd 2/922-923,
Al-Mi'yar Al-Mu'arab 6/203]
Aku (Syaikh Masyhur) berkata :"Maka jika
menjual buku yang banyak salah dari segi tulisan dan bagian luarnya tidak
boleh, maka tentu lebih terlarang jika salahnya itu dari segi isi dan
makna."
[D]. Haram Menjual Buku-Buku Berisi
Mantra-Mantra, Jimat-Jimat (Buku Mujarobat Dan Faedah Asmaul Husna, -pent)
Taawudz Dan Cara-Cara Menghadirkan Arwah Dan Jin.
Ibnu Baththah al-'Ukbari rahimahullahu
berkata :"Termasuk bid'ah adalah melihat/memandang buku berisi
mantra-mantra dan mempraktekkannya ,dan mengaku-aku bisa bicara dengan jin,
menjadikan jin sebagai khadam dan membunuh jin.
Demikian pula termasuk bid'ah memakai dan
menggantung jimat-jimat dan do'a-do'a untuk meminta perlindungan kepada jin.
[Lihat Asy-Syarhu wal Ibanah hal : 361]
[E]. Haram Menjual Diwan-Diwan Syi'ir (Buku
Berisi Kumpulan Puisi Atau Syair Lagu, -pent) Yang Berisi Ejekan, Dendam, Dan
Perkataan Kotor/Cabul.
Imam Al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya
1/337 : "Ibnul Qasim membenci mengambil upah sebagai balasan mengajar
syi'ir dan nahwu. Ibnu Habib berkata :"Tak mengapa mengupah seseorang
untuk mengajar syi'ir, risalah dan peperangan-peperangan orang Arab (sejarah
Arab yang biasanya diabaddikan dalam syair, -pent) dan dibenci syi'ir yang
berisi dendam, kata-kata jorok dan ejekan."
Saya (Syaikh Masyhur) berkata :"Berdasar
perkataan Imam Al-Qurthubi haram menjual diwan-diwan syi'ir yang penuh dengan
hal-hal yang bertentangan dengan Islam.". Hal ini ditegaskan oleh Imam
Adz-Dzahabi beliau berkata : "Sya'ir adalah ucapan sebagaimana jenis
ucapan manusia yang lain, maka syair yang baik adalah baik, dan syair yang
buruk adalah buruk. Berlebihan dalam masalah syair adalah mubah, [Pahamilah
kata-kata beliau ni dengan judul Bab yang dibuat oleh Imam Bukhari, yakni Kitab
Adab, Bab dibencinya keadaan dimana syai'ir menyibukkan seorang sehingga
menghalanginya dari dzikrullah, ilmu syar'i dan Al Qur'an- Fathul Bari juz 10
hal.548]
Kecuali berlebihan dalam menghafal
syair-syair seperti syair-syair Abu Nawas, Ibnu Hajjaj (sufi) dan Ibnu Faridh
(sufi) , maka dalam hal ini hukumnya "haram".
Dalam seperti ini Nabi Shalallahu alaihi wa
sallam bersabda :
"Artinya : Sungguh perut salah satu kamu
penuh berisi nanah sehingga merusak perut, lebih baik daripada penuh berisi
syair." [Bukhari dalam shahihnya 10/548, Muslim dalam shahihnya 4/1769
dari Abu Hurairah]
Saya (Syaikh Masyhur) berkata :"Maka
haram menjual buku-buku mereka (orang-orang yang menyimpang lagi meremehkan
agama) kecuali kepada Ahli Ilmu dan Penunutut Ilmu untuk mentahdzhir
(memperingatkan) bahayanya. Allah-lah tempat memohon pertolongan. Tidak ada
Rabb selainNya. Termasuk hal ini adalah diwan-diwan syair yang berisi hal-hal
yang bertentangan dengan aqidah Islam, seperti syair Sufi (barzanzi, diba' dan
lain-lain, -pent)
As-Sakwani berkata didalam Lahnul Awam
halaman 149, setelah menyebutkan syair-syair yang menyelisihi syariat
:"Ini semua dan hal-hal yang serupa dengannya adalah haram menyebarkan dan
membiarkannya. Membakarnya adalah wajib dan tidak halal menjualnya di
pasar."
[F]. Haram Menjual Buku-Buku Filsafat Dan
Ilmu Kalam
Ibnu Katsier berkata dalam Al Bidayah wan
Nihayah 11/69 ketika membeberkan kejadian-kejadian pada tahun 279H: "Dalam
tahun ini diumumkan tentang terlarangnya penjualan buku-buku filsafat, ilmu
kalam dan debat. Itu merupakan keinginan Abul Abbas Al Mu'tadhid, penguasa
Islam."
Hafizhuddin bin Muhammad yang terkenal dengan
sebutan al-Kardiry (w.872H) menceritakan sebuah hikayat yang bagus untuk
menjelaskan nilai buku-buku ini (filsafat) disisi para shahabat Nabi.Beliau
berkata : "Diceritakan, ketika Amr bin Al-Ash menguasai kota Iskandariyah,
disana ada seorang ahli filsafat bernama Yahya, yang digelari Thumathikus
-yaitu ahli ilmu nahwu- , dan penduduk Iskandariyah melaknat dirinya. Ia
menganut sekte Al-Yaqubiyah dalam masalah trinitas, kemudian ia meninggalkan
trinitas. Maka penduduk Mesir yang beragama Nasrani mendebatnya dan menjatuhkan
martabatnya di tengah-tengah masyarakat. Takkala Iskandariyah dikuasai Amr,
maka ia selalu menyertai Amr dan suatu hari ia berkata kepada Amr: "Engkau
telah mengetahui rahasia penduduk negeri ini, dan engkau menyegel seluruh
gudang yang ada, dan engkau tidak mau mengambil menfaat darinya, padahal dalam
hal ini tidak seorangpun yang menentangmu. Dan apa-apa yang tidak engkau
manfaatkan maka lebih baik diserahkan kepada kami saja!.". Maka Amr
berkata :"Apa yang kau butuhkan?" Yahya berkata :"Buku-buku
filsafat yang ada di gudang." "Itu tidak mungkin kecuali dengan ijin
dari Amirul mukminin," jawab Amr. Kemudian Umar menulis (jawaban) kepada
Amr: "Adapun buku-buku yang telah kau ceritakan ,jika sesuai dengan
Kitabullah, maka Kitabullah sudah mencukupinya, jika tidak sesuai dengan
Kitabullah maka tidak diperlukan.(Oleh karena itu) "Lenyapkanlah"
buku-buku itu."
Maka Amr membagikan buku-buku tersebut pada perapian-perapian
di Iskandariyah dan memerintahkan untuk membakar buku-buku tersebut, sehingga
selesailah pemusnahan buku-buku filsafat dalam jangka 6 bulan.
[G]. Haram Menjual Buku-Buku Karya Al-Hallaj,
Ibnu Arabi Dan Tokoh-Tokoh Sufi Lainnya
Al-Malik Al-Muayyib Ismail Abu Fida' dalam
Akhbar Al-Basyar 4/79 :"Ketika tahun 744H, di tahun itu kami
mengkoyak-koyak dan mencuci (melunturkan tinta) Kitab Fushulul Hikam karya
Muhyidin Ibnu Arabi di Madrasah Al-Ush-furiyah di Halb sesudah pelajaran
(didepan murid) sebagai peringatan haramnya menelaah dan memiliki kitab
tersebut dan aku berkata : Kitab Fushuh ini sebenarnya tidaklah berharga Aku
membaca goresan-goresannya Ternyata isinya adalah sebaliknya (dari judulnya)
[Disalin dari Majalah As-Sunnah edisi 12/Th.IV/1421-2000.
Diterjemahkan secara ringkas oleh Aris Munandar bin.S.Ahmadi al-Lamfuji,
Penerbit Yayasn Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km 8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183]
__________
Footenotes
[1]. Hal ini karena belajar melalui buku itu
memiliki 2 kesulitan : 1. Membutuhkan waktu lama dan kesungguhan yang
sunguh-sungguh, 2. Ilmu yang berasal dari buku-buku adalah lemah, tidak
dibangun diatas kaidah dan ushul. Lihat. Kitabul Ilmi, Ibnu Utsaimin , hal
68-69 Daruts Tsariya, 1417
[2]. Hadits dhaif, lihat takhrij Fiqhus
Sirah, oleh Al-Albani hal 225-226, tetapi pengambilan dalil yang dilakukan
Syaikhul Islam adalah benar berdasarkan sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam
: "Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia mendapatkan (pahala)
seperti pahala pelakunya [Hadits Riwayat Muslim]
HUKUM MENGHANCURKAN BUKU-BUKU AHLI
BID'AH DAN SESAT
Oleh
Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman
Didalam As-Shawarimul Haddad hal. 68 Imam
Syaukani menukil ucapan sekelompok ulama seperti Al-Bulqainy, Ibnu Hajar,
Muhammad bin Arafah, dan Ibnu Khaldun, berkaitan dengan buku-buku yang
ditahdzhir:
Hukum mengenai buku-buku yang berisi aqidah
yang menyesatkan dan buku-buku yang banyak beredar di tengah-tengah masyarakat
seperti al-Fushulul Hikam dan Futhuhatul Makkiyah karya Ibnu Arabi, Al-Bad
karya Ibnu Sab'in, Khal'un Na'lain karya Ibnu Qasi, 'Alal Yakin karya Ibnu
Barkhan dan disamakan dengan buku-buku ini kebanyakan syair-syair Ibnu faridh
dan Al-'Afif At-Tilmisani. Demikian juga buku syarh Ibnul Farghani terhadap
qasidah at-Taiyah karya Ibnul Faridh.
Hukum dari buku-buku ini dan semisalnya
adalah "Harus Dilenyapkan Kapan Saja Ditermukan" dengan cara dibakar
atau dilunturkan tintanya dengan air.
Imam Ibnul Qayyim mempunyai perkataan yang
sangat bagus tentang keharusan membakar dan menghancurkan buku-buku ahli bid'ah
dan sesat, dan behwa orang yang melakukan hal itu tidak menanggung ganti rugi,
beliau rahimahullahu berkata :" Demikian juga tidak ada ganti rugi didalam
membakar dan menghancurkan buku-buku yang menyesatkan."
Al Marudzi berkata kepada Imam Ahmad
:"Aku meminjam buku yang banyak berisi hal-hal yang jelek, menurut
pendapatmu apakah (lebih baik) aku rusakkan atau aku bakar ?
Imam Ahmad menjawab :"Ya, Nabi
Shalallahu alaihi wa sallam pernah melihat buku ditangan Umar yang ia salin
dari Taurat dan ia terkagum-kagum dengan kecocokan Taurat dengan Al-Qur'an,
maka berubahlah raut muka Nabi Shalallahu alaihi wa sallam sehingga pergilah
Umar ketungku lalu melemparkannya ke dalam tungku."
Maka bagaimanakah seandainya Nabi Shalallahu
alaihi wa sallam melihat buku-buku yang ditulis untuk menentang al-Qur'an dan
Sunnah, Allah-lah tempat memohon pertolongan. Sedangkan Nabi Shalallahu alaihi
wa sallam pernah memerintahkan orang yang menulis dari beliau selain Al Qur'an
hendaklah ia hapus, kemudian beliau Shalallahu alaihi wa sallam membolehkan
menulis As-Sunnah dan tidak ada ijin untuk selain itu.
Dan setiap buku yang berisi hal-hal yang
menyelisihi Sunnah tidaklah diijinkan, bahkan diijinkan untuk membakar dan
menghancurkannya. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi umat ini daripada
buku-buku sesat itu.
Bahkan para shahabat membakar semua mushaf
yang berbeda dengan mushaf Utsman karena ditakutkan terjadinya perselisihan
ditengah umat, maka bagaimanakah jika para shahabat melihat buku-buku yang
telah menimbulkan perselisihan dan perpecahan ditengah-tengah umat??
Al-Khalal berkata bahwa Muhammad bin Harun
mengabarkan padanya, bahwa Abul Harits telah bercerita kepada mereka bahwa Abu
Abdillah (Imam Ahmad) berkata :"Mengarang buku telah membinasakan mereka,
mereka meninggalkan hadits-hadits Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam dan
menerima ilmu kalam."
Al-Khalal berkata bahwa Muhammad bin ahmad
bin Washi Al Muqry mengatakan bahwa ia mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad)
ditanyai tentang ro'yu (akal, pendapat) maka ia mengangkat suaranya seraya
berkata :"Sesuatu yang berasal dari ro'yu tidak akan tetap, wajib atas
kalian menetapi Al-Qur'an, Al-Hadits, dan Atsar (riwayat)."
Di dalam riwayat Ibnu Masyisy ,ada seorang
bertanya kepada Imam Ahmad :"Bolehkah aku menulis ro'yu (pendapat), maka
beliau menjawab :"Apa yang kalian perbuat dengan ro'yu? Wajib atas kalian
belajar Sunnah dan menetapi hadits-hadits yang telah dikenal
(keshahihannya)"
Kemudian Al-Khalal berkata
:"Permasalahan menyusun buku perlu ada perincian yang tempatnya bukan
disini (lihat rincian pada Al Muwafaqat karya Asy-Syathibi 1/97-99) dan
sesungguhnya Imam Ahmad membenci dan melarang hal itu karena bisa menyibukkan
dan memalingkan dari Al-Qur'an dan Sunnah, serta pembelaan Al-Qur'an dan
Assunnah. Adapun buku-buku untuk membantah pendapat-pendapat dan
madzhab-madzhab yang menyelisihi Al-Qur'an dan As-Sunnah maka tidaklah mengapa,
bahkan menjadi wajib atau mustahab (disukai) atau mubah tergantung keadaan.Wallahu
a'lam.
Kesimpulannya, sesungguhnya buku-buku yang
berisi kebohongan, dan bid'ah wajib dihancurkan dan dimusnahkan. Hal ini lebih
wajib daripada menghancurkan alat-alat permainan musik, serta menghancurkan
bejana khamr, karena bahaya buku yang menyesatkan lebih berbahaya dari bahaya
alat-alat ini. Dan tidak ada ganti rugi dalam masalah ini, sebagaimana tidak
ada ganti rugi dalam hal memecahkan bejana khamr." [1]
Didalam kisah taubat Ibnu Ka'ab bin Malik
Radhiallahu anhu dia mengatakan :"Maka aku (Ka'ab) menuju perapian
kemudian membakar surat itu (surat Raja Ghosan)". [HR. Bukhari 8/86,93,
Muslim no.2769]
Ibnul Qayyim berkomentar :"Didalam kisah
ini ada anjuran untuk bersegera menghancurkan hal-hal yang menimbulkan
kerusakan dan bahaya bagi agama. Orang yang teguh hati tidaklah menunggu-nunggu
dan mengulur-ulur hal itu. Seperti ini juga sikap yang harus diberikan kepada
khamr dan buku-buku yang ditakutkan menimbulkan bahaya dan kejelekan, yaitu
dengan penuh kemantapan hati segera menghancurkan dan memusnahkannya." [2]
Syaikhul Islam juga memberikan fatwa untuk
membakar beberapa kitab, lihat akhir no. 59 kitab Al-Akhbar didalam al-jami',
yang terdapat dibagian akhir Mushannaf Abdir razzaq 11/424 dan Mushannaf Ibnu
Abi Syaibah 6/211-212 cetakan darul Fikr bab :..dan membakar kitab
Abu Abdillah Al-Hakim berkata :"Ishaq,
Ibnul Mubarak, dan Muhammad Yahya, mereka semua memendam buku-buku yang mereka
tulis, demikian diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi didalam Siyar 2/337 dan
berkomentar:
"Inilah perbuatan beberapa Imam yang
menunjukkan bahwa mereka menganggap tidak bolehnya mengambil ilmu secara
wijadah (membaca sendiri) karena tulisan kadang berubah ditangan penukil dan
mungkin bertambah satu huruf sehingga merubah makna. Adapun sekarang, kebohongan
telah tersebar, sedikit orang yang mau belajar dien lewat mulut para guru dan
juga dari buku-buku yang tidak ada kesalahannya, bahkan sebagian penukil Kitab
terkadang tidak bisa mengeja dengan baik."
Pada biografi Abu Kuraib Muhammad bin Al 'Ala
Al Hamdani (w.248) ,Muthayan berkata :"Abu Kuraib berwasiat agar buku-buku
karyanya dipendam, maka dilaksanakan wasiat beliau."
Kemudian Adz-Dzahabi didalam Siyar 11/397
memberikan komentar : "Beberapa ahli hadits telah mewasiatkan agar
buku-bukunya dipendam, dibakar, atau dicuci (dilunturkan tintanya), karena
takut buku tersebut dipegang oleh muhaddits yang kurang agamanya, kemudian ia
akan merubah-rubah dan menambahinya, kemudian hal itu dinisbatkan kepada
Al-Hafidz (ahli hadits pemilik kitab). Atau didalam kitab itu terdapat riwayat
yang putus atau lemah yang tidak pernah ia ceritakan, sedangkan yang telah ia
riwayatkan adalah hal-hal yang telah dipilih. Maka ia pada akhirnya membenci
hasil tulisannya, dan tidak ada jalan lain kecuali harus dimusnahkan.Karena hal
ini dan lainnya ia memendam buku-bukunya."
Saya (Syaikh Masyhur) berkata :
"Buku-buku yang penuh dengan racun kalajengking dan ular (yang berisi
kejelakan dan kemungkaran) lebih layak untuk dipendam, dimusnahkan dan dibakar.
Mungkin teori modern terhadap kebebasan
berfikir yang ada di zaman ini menganggap sikap seperti ini adalah ta'ashub
(ekstrim), akan tetapi itulah sikap yang benar dengan memandang kemaslahatan
umat Islam karena umat Islam adalah sebuah jama'ah yang satu fikrahnya. Dan
kewajibannya yang dibebankan Islam ke punggung umatnya tidak mungkin
dilaksanakan tanpa kesatuan ini. Maka Islam tidak rela musnahnya kesatuan
fikrah ini untuk membawa umat kepada pemurtadan pemikiran dan kekacauan
pemikiran. Karena umat tidak akan mampu melawan kekuatan penentangan didalam
bidang ilmu dan teknologi selama keimanan mereka terhadap falsafah hidupnya
masih lemah dan asas (landasan) berfikirnya belum kokoh. Sejarah menyaksikan
bahwa setiap dasar (asas) berfikir umat roboh, menyebabkan filsafat asing (kafir)
melelehkan umat dari dalam. Umat yang dahulunya melahirkan da'i-da'i yang
menyeru kepada agama Allah dan pembawa bendera kebenaran berubah melahirkan
orang-orang kafir, durhaka dan menentang.
Sikap tegas terhadap buku-buku yang
menyelishi Al Qur'an dan Sunnah ini bukan berarti tidak mengobati khilaf
(perselisihan) yang tumbuh ditengah umat dengan lembut,saling memahami, dan
diskusi atau berarti menghilangkan perselisihan dengan kekerasan. Bahkan sikap
ini sebenarnya bermakna kerja keras agar umat tetap berada diatas jalan yang
haq, berpegang teguh terhadap iman dan diennya, tanpa melarang diskusi
pemikiran yang terarah dan bantahan terhadap pembahasan ilmiyah dan pemikiran
dengan pembahasan yang serupa dalam bentuk ilmiyah yang kokoh.
Imam Ibnul Qayyim -sebagaimana kami telah
sebutkan sikap beliau terhadap buku-buku yang menyelesihi alKitab dan Sunnah -
berpendapat bahwa bantahan ilmiyah terhadap buku-buku tersebut tidak hanya
mubah bahkan terkadang wajib atau mandud (disukai) tergantung keadaan (lihat redaksi
yang telah lewat).
Ada sebuah kisah menarik tentang kematian
Imam ash-Shan'ani (w 1182H), yaitu beliau tertimpa sakit perut (mencret) yang
menguras isi perut beliau .Keluarga beliau mencarikan obat tetapi tidak berguna
sedikitpun.
Kemudian dibawakan dua buah buku kepada
beliau, yaitu Al-Insan Al Kamil karya Al Jili, dan al-Madhnun Bihi 'Ala Ahlihi
karya Al-Ghazali, yang beliau pernah berkomentar : "Aku tidak
menganggapnya sebagai karya beliau. Buku ini hanyalah dinisbatkan secara dusta."
Kemudian imam Ash-Shan'ani berkata : "Kemudian aku menelaah buku tersebut,
maka aku temukan buku tersebut berisi kekufuran yang nyata, maka aku
perintahkan supaya kedua buku itu dibakar dengan api dan apinya digunakan untuk
membuat roti untukku." Kemudian beliau makan roti dengan niat sebagai
obat, setelah itu beliau tidaklah merasa sakit.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah edisi
12/Th.IV/1421-2000. Diterjemahkan secara ringkas oleh Aris Munandar
bin.S.Ahmadi al-Lamfuji, Penerbit Yayasn Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo
Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
__________
Footenotes
[1]. Ibnul Qayyim dalam At-Turuq Al Hukmiyah
fi Siyasah asy-Syar'iyah hal 322-325
[2]. Lihat Zaadul Ma'ad 3/581