Senin, 05 Mei 2014

ARTIKEL ISLAMI

Saudariku...!
Tidakkah Engkau tau, atau memang engkau tidak tau sama sekali, atau engkau tau tapi tidak mau tau (cuek) terhadap apa yang difirmankan Allah dalam al-Quran “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mu’min, ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.” (al-Ahzab: 59)

Saudariku...!
Tidakkah hatimu bergetar dengan firman Allah tersebut diatas ? Ataukah hatimu sedang sakit ? Atau…… hatimu sudah mati laksana besi, beku laksana batu ? Yang tidak mau menerima kebenaran ? Kebenaran dari sang Khaliq (pencipta), yang telah menciptakan kamu dalam bentuk yang sebaik-baiknya, (telah Ku ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya). Maka beruntunglah orang-orang yang hatinya sehat, yaitu hati yang selalu merindukan kebenaran, bagaikan tanah gersang yang merindukan sentuhan air hujan.

Saudariku...!
Ketahuilah bahwa engkau diperintahkan oleh Allah untuk berjilbab, itu semata-mata untuk kebaikanmu, agar engkau terhidar dari mata-mata liar serigala yang bernama (laki-laki-red), dan juga yang membedakan kamu dari cara-cara berpakaiannya orang-orang kafir.

Saudariku...!
Sungguh ! tidak ada perintah yang lebih mulia selain dari perintah Allah, dan tidak ada jamianan yang lebih baik selain dari jaminan Allah, maka taatilah perintah-Nya dan yakinlah akan jaminan-Nya.

Saudariku...!
Melihat ke depan, ada perempuan berlenggok dengan seutas Tank Top. Menoleh ke kiri, pemandangan “Pinggul Terbuka”. Menghindar ke kanan, ada sajian “Celana Ketat Plus You Can See”. Balik ke belakang, di hadang oleh “Dada Menantang”. Asstaqfirullah…….. kemana lagi mata ini harus memandang ?

Saudariku...!
Kalau berbicara tentang ‘nafsu’,  jelas setiap orang suka. Tapi sayang, tidak semua orang ingin hidup ini di balut dengan nafsu buta. Kita juga butuh hidup dengan pemandangn yang membuat kita tenang. Yaitu melihat wanita, bukan sebagai obyek pemuas mata, tapi sebagai sosok yang anggun mempesona, dan kalau dipandang, membuat mata sejuk. Bukan paras yang membuat mata panas, membuat iman lepas, ditarik oleh pikiran ‘ngeres’, dan hatipun menjadi keras.

Saudariku...!
Maka bejilbablah karena sesungguhnya Engkau Labih Cantik Dengan Jilbab dan insya’Allah akan bernilai ibadah.

Kamis, 26 Desember 2013

INFORMASI TUNJANGAN GURU



Yth. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
di Seluruh Indonesia
Dengan hormat kami beritahukan bahwa  salah satu program Direktorat Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Direktorat P2TK Dikmen), Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah adalah menyalurkan dana tunjangan bagi pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan menengah. Berkenaan dengan hal tersebut, perlu kami sampaikan kepada Saudara hal-hal sebagai berikut :
  1. Tunjangan Profesi adalah tunjangan yang diperuntukkan bagi guru PNS, guru yang diangkat dalam jabatan pengawas dan Guru Bukan PNS yang diangkat oleh pemerintah daerah atau yayasan/masyarakat penyelenggara pendidikan baik yang mengajar di sekolah negeri maupun sekolah swasta; dan sudah memiliki sertifikat pendidik.
  2. Subsidi Tunjangan Fungsional adalah tunjangan yang diperuntukkan bagi Guru Bukan PNS pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat; dan belum mempunyai sertifikat pendidik.
  3. Tunjangan khusus adalah tunjangan yang diperuntukkan bagi guru PNS dan Bukan PNS yang bertugas di daerah khusus yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat; baik yang sudah memiliki sertifikat pendidik maupun yang belum mempunyai sertifikat pendidik.
Untuk mewujudkan pelaksanaan penyaluran dana tunjangan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan menengah pada tahun 2013 supaya tepat waktu, tepat sasaran dan tepat guna, maka diperlukan data penerima tunjangan yang akurat.
Sehubungan dengan hal tersebut, sambil menunggu permendikbud, Permenkeu/PMK dan Petunjuk Teknis tentang Penyaluran Tunjangan Guru maka mohon Saudara dapat menugaskan staf bagian ketenagaan untuk dapat melakukan pendataan semua guru dan pengawas pada jenjang pendidikan menengah di wilayah kabupaten/kota Saudara dengan melakukan  :
  1. Perekaman data dengan menggunakan formulir yang telah disiapkan oleh Direktorat P2TK Dikmen. Formulir tersebut akan dikirim ke dinas pendidikan kabupaten/kota dan dapat juga diunduh di http://p2tkdikmen.kemdikbud.go.id atau https://sites.google.com/site/ptkdikmen
  2. Formulir yang sudah diisi kemudian disimpan dengan nama “NUPTK” masing-masing guru dan disampaikan dalam bentuk softcopy (compact disc) per sekolah/instansi ke Direktorat P2TK Dikmen atau dikirim melalui email tunjangan.ptkdikmen@gmail.com.
  3. Formulir paling lambat diterima pada tanggal 31 Oktober 2012 sebagai bahan persiapan verifikasi dan validasi data guru penerima tunjangan oleh kabupaten/kota.
  4. Setelah mengirimkan data baik berupa cd atau dikirim lewat email, kemudian masing-masing guru memberitahukan ke Direktorat P2TK Dikmen melalui sms dengan format REG [spasi] NUPTK (contoh : REG 1234123412341234) kirim ke 08388 10 1000.
Apabila Saudara memerlukan keterangan lebih lanjut, dapat mengubungi melalui telp kantor di nomor 021 57974112 dan 021 57974108.
Demikian atas perhatian serta kerjasamanya, kami sampaikan terimakasih.
  • Direktur Pembinaan PTK Dikmen
  • Surya Dharma, MPA, Ph.D
  • NIP. 19530927 197903 1 001
Catatan Penting :
  1. Demi kelancaran, mohon diisi menggunakan program adobe reader 10
  2. Isilah dengan lengkap dan benar
  3. Softcopy yang dikirim tidak perlu ditandatangan. Tanda tangan hanya untuk formulir yang telah dicetak
  4. Simpan dengan nama NUPTK guru masing-masing, tidak perlu ada tambahan lain-lain. contoh 1234567890123456
  5. File softcopy yang kami terima harus dalam bentuk pdf, dengan format yang sama seperti formulir yang diisi.
Pengumuman
  • karena terjadi masalah teknis, maka ada perubahan nomor hp untuk mengirimkan sms. Semula nomornya adalah 082 123 345636 berubah menjadi 08388 10 1000
  • CEK STATUS ANDA DISINI P2TK
  • http://116.66.201.163:8083/info.php
Keterangan
  • Masukkan NUPTK sebagai username serta tanggal lahir sebagai password dgn format YYYYMMDD. Sebagai contoh jika tgl lahir anda 2 Agustus 1986 passwordnya: 19860802
  • Jika muncul informasi NUPTK tidak ditemukan, ada beberapa kemungkinan. 1) Kolom NUPTK belum diisi pada data Dapodik anda; 2) Kolom NUPTK anda diisi namun salah ketik. 3) Data Dapodik utk NUPTK ybs belum ter-import ke basis data.
  • Jika ada masalah tertentu, sertakan NUPTK dan masalahnya melalui email ke cekdataguru.dikdas@gmail.com utk kami telusuri penyebabnya. HARAP DIPAHAMI BAHWA MEKANISME UPDATE DATA HANYA BISA DILAKUKAN MELALUI APLIKASI DAPODIK. KAMI TIDAK AKAN MENJAWAB REQUEST UPDATE DATA.

Senin, 23 Desember 2013

KUMPULAN ARTIKEL ISLAM ANTARA ADAT DAN IBADAH



ANTARA ADAT DAN IBADAH


Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari



Ini adalah sub kajian yang sangat penting yang membantah anggapan orang yang dangkal akal dan ilmunya, jika bid’ah atau ibadah yang mereka buat diingkari dan dikritik, sedang mereka mengira melakukan kebaikan, maka mereka menjawab : “Demikian ini bid’ah ! Kalau begitu, mobil bid’ah, listrik bid’ah, dan jam bid’ah!”

Sebagian orang yang memperoleh sedikit dari ilmu fiqih terkadang merasa lebih pandai daripada ulama Ahli Sunnah dan orang-orang yang mengikuti As-Sunnah dengan mengatakan kepada mereka sebagai pengingkaran atas teguran mereka yang mengatakan bahwa amal yang baru yang dia lakukan itu bid’ah seraya dia menyatakan bahwa “asal segala sesuatu adalah diperbolehkan”.

Ungkapan seperti itu tidak keluar dari mereka melainkan karena kebodohannya tentang kaidah pembedaan antara adat dan ibadah. Sesungguhnya kaidah terseubut berkisar pada dua hadits. 

Pertama : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa melakukan hal yang baru dalam urusan (agama) kami ini yang tidak ada di dalamnya, maka amal itu tertolak”.

Hadits ini telah disebutkan takhrij dan syarahnya secara panjang lebar.

Kedua : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peristiwa penyilangan serbuk sari kurma yang sangat masyhur.

“Artinya : Kamu lebih mengetahui tentang berbagai urusan duniamu”

Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim (1366) dimasukkan ke dalam bab dengan judul : “Bab Wajib Mengikuti Perkataan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dalam Masalah Syari’at Dan Yang Disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Tentang Kehidupan Dunia Berdasarkan Pendapat”, dan ini merupakan penyusunan bab yang sangat cermat 

Atas dasar ini maka sesungguhnya penghalalan dan pengharaman, penentuan syari’at, bentuk-bentuk ibadah dan penjelasan jumlah, cara dan waktu-waktunya, serta meletakkan kaidah-kaidah umum dalam muamalah adalah hanya hak Allah dan Rasul-Nya dan tidak ada hak bagi ulil amri [1] di dalamnya. Sedangkan kita dan mereka dalam hal tersebut adalah sama. Maka kita tidak boleh merujuk kepada mereka jika terjadi perselisihan. Tetapi kita harus mengembalikan semua itu kepada Allah dan Rasul-Nya.

Adapun tentang bentuk-bentuk urusan dunia maka mereka lebih mengetahui daripada kita. Seperti para ahli pertanian lebih mengetahui tentang apa yang lebih maslahat dalam mengembangkan pertanian. Maka jika mereka mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan pertanian, umat wajib mentaatinya dalam hal tersebut. Para ahli perdagangan ditaati dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan perdagangan.

Sesungguhnya mengembalikan sesuatu kepada orang-orang yang berwenang dalam kemaslahatan umum adalah seperti merujuk kepada dokter dalam mengetahui makanan yang berbahaya untuk dihindari dan yang bermanfaat darinya untuk dijadikan santapan. Ini tidak berarti bahwa dokter adalah yang menghalalkan makanan yang manfaat atau mengharamkan makanan yang mudharat. Tetapi sesungguhnya dokter hanya sebatas sebagai pembimbing sedang yang menghalalkan dan mengharamkan adalah yang menentukan syari’at (Allah dan Rsul-Nya), firmanNya.

“Artinya : Dan menghalalkan bagi mereka segala hal yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk” [Al-Araf : 157] [2].

Dengan demikian anda mengetahui bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan tertolak. Adapun bid’ah dalam masalah dunia maka tiada larangan di dalamnya selama tidak bertentangan dengan landasan yang telah ditetapkan dalam agama [3]. Jadi, Allah membolehkan anda membuat apa yang anda mau dalam urusan dunia dan cara berproduksi yang anda mau. Tetapi anda harus memperhatikan kaidah keadilan dan menangkal bentuk-bentuk mafsadah serta mendatangkan bentuk-bentuk maslahat.” [4]

Adapun kaidah dalam hal ini menurut ulama sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah [5] adalah : “Sesungguhnya amal-amal manusia terbagi kepada : Pertama, ibadah yang mereka jadikan sebagai agama, yang bermanfaat bagi mereka di akhirat atau bermanfaat di dunia dan akhirat. Kedua, adat yang bermanfaat dalam kehidupan mereka. Adapun kaidah dalam hukum adalah asal dalam bentuk-bentuk ibadah tidak disyari’atkan kecuali apa yang telah disyariatkan Allah. Sedangkan hukum asal dalam adat [6] adalah tidak dilarang kecuali apa yang dilarang Allah”.

Dari keterangan diatas tampak dengan jelas bahwa tidak ada bid’ah dalam masalah adat, produksi dan segala sarana kehidupan umum”.

Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Mahmud Syaltut dalam kitabnya yang sangat bagus, Al-Bid’ah Asabbuha wa Madharruha (hal. 12 –dengan tahqiq saya), dan saya telah mengomentarinya sebagai berikut, “Hal-hal tersebut tiada kaitannya dengan hakikat ibadah. Tetapi hal tersebut harus diperhatikan dari sisi dasarnya, apakah dia bertentangan dengan hukum-hukum syari’at ataukah masuk di dalamnya”.

Di sini terdapat keterangan yang sangat cermat yang diisyaratkan oleh Imam Syathibi dalam kajian yang panjang dalam Al-I’tisham (II/73-98) yang pada bagian akhirnya disebutkan, “Sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan adat jika dilihat dari sisi adatnya, maka tidak ada bid’ah di dalamnya. Tetapi jika adat dijadikan sebagai ibadah atau diletakkan pada tempat ibadah maka ia menjadi bid’ah”.

Dengan demikian maka “tidak setiap yang belum ada pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga belum ada pada masa Khulafa Rasyidin dinamakan bid’ah. Sebab setiap ilmu yang baru dan bermanfaat bagi manusia wajib dipelajari oleh sebagian kaum muslimin agar menjadi kekuatan mereka dan dapat meningkatkan eksistensi umat Islam.

Sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang baru dibuat oleh manusia dalam bentuk-bentuk ibadah saja. Sedangkan yang bukan dalam masalah ibadah dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syari’at maka bukan bid’ah sama sekali” [7]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah Al-Fiqhiyah (hal. 22) berkata, “ Adapun adat adalah sesuatu yang bisa dilakukan manusia dalam urusan dunia yang berkaitan dengan kebutuhan mereka, dan hukum asal pada masalah tersebut adalah tidak terlarang. Maka tidak boleh ada yang dilarang kecuali apa yang dilarang Allah. Karena sesungguhnya memerintah dan melarang adalah hak prerogratif Allah. Maka ibadah harus berdasarkan perintah. Lalu bagaimana sesuatu yang tidak diperintahkan di hukumi sebagai hal yang dilarang?

Oleh karena itu, Imam Ahmad dan ulama fiqh ahli hadits lainnya mengatakan, bahwa hukum asal dalam ibadah adalah tauqifi (berdasarkan dalil). Maka, ibadah tidak disyariatkan kecuali dengan ketentuan Allah, sedang jika tidak ada ketentuan dari-Nya maka pelakunya termasuk orang dalam firman Allah.

“Artinya : Apakah mereka mempunyai para sekutu yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah?” [Asy-Syuraa : 21]

Sedangkan hukum asal dalam masalah adat adalah dimaafkan (boleh). Maka, tidak boleh dilarang kecuali yang diharamkan Allah.

“Artinya : Katakanlah. Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. ‘Katakanlah, ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” [Yunus : 59]

Ini adalah kaidah besar yang sangat berguna. [8]

Yusuf Al-Qaradhawi dalam Al-Halal wal Haram fil Islam (hal.21)berkata, “Adapun adat dan muamalah, maka bukan Allah pencetusnya, tetapi manusialah yang mencetuskan dan berinteraksi dengannya, sedang Allah datang membetulkan, meluruskan dan membina serta menetapkannya pada suatu waktu dalam hal-hal yang tidak mendung mafsadat dan mudharat”.

Dengan mengetahui kaidah ini [9], maka akan tampak cara menetapkan hukum-hukum terhadap berbagai kejadian baru, sehingga tidak akan berbaur antara adat dan ibadah dan tidak ada kesamaran bid’ah dengan penemuan-penemuan baru pada masa sekarang. Dimana masing-masing mempunyai bentuk sendiri-sendiri dan masing-masing ada hukumnya secara mandiri.

[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
__________
Foote Note
[1]. Maksudnya ulama dan umara
[2]. Ushul fil Bida’ was Sunan : 94
[3]. Ini batasan yang sangat penting, maka hendaklah selalu mengingatnya!
[4]. Ushul fil Bida’ was Sunan : 106
[5]. Al-Iqtidha II/582
[6]. Lihat Al-I’tiham I/37 oleh Asy-Syatibi.
[7]..Dari ta’liq Syaikh Ahmad Syakir tentang kitab Ar-Raudhah An-Nadiyah I/27
[8]. Sungguh Abdullah Al-Ghumari dalam kitabnya “Husnu At-Tafahhum wad Darki” hal. 151 telah mencampuradukkan kaidah ini dengan sangat buruk, karena menganggap setiap sesuatu yang tidak terdapat larangannya yang menyatakan haram atau makruh, maka hukum asal untuknya adalah dipebolehkan. Dimana dia tidak merincikan antara adat dan ibadah. Dan dengan itu, maka dia telah membantah pendapatnya sendiri yang juga disebutkan dalam kitabnya tersebut seperti telah dijelaskan sebelumnya.
[9]. Lihat Al-Muwafaqat II/305-315, karena di sana terdapat kajian penting dan panjang lebar yang melengkapi apa yang ada di sini.

BID’AH DAN NIAT BAIK


Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari



Ketika sebagian orang melakukan bid’ah, mereka beralasan bahwa amal mereka dilakukan dengan niat yang baik, tidak bertujuan melawan syari’at, tidak mempunyai pikiran untuk mengoreksi agama, dan tidak terbersit dalam hati untuk melakukan bid’ah ! Bahkan sebagian mereka berdalil dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” [Muttafaq Alaihi]

Untuk membentangkan sejauh mana tingkat kebenaran cara mereka menyimpulkan dalil dan beberapa alasan yang mereka kemukakan tersebut, kami kemukakan bahwa kewajiban seorang muslim yang ingin mengetahui kebenaran yang sampai kepadanya serta hendak mengamalkannya adalah tidak boleh menggunakan sebagian dalil hadits dengan meninggalkan sebagian yang lain. Tetapi yang wajib dia lakukan adalah memperhatiakn semua dalil secara umum hingga hukumnya lebih dekat kepada kebenaran dan jauh dari kesalahan. Demikianlah yang harus dilakukan bila dia termasuk orang yang mempunyai keahlian dalam menyimpulkan dalil.

Tetapi bila dia orang awam atau pandai dalam keilmuan kontemporer yang bukan ilmu-ilmu syari’at, maka dia tidak boleh coba-coba memasuki kepadanya, seperti kata pepatah : “Ini bukan sarangmu maka berjalanlah kamu!”.

Adapun yang benar dalam masalah yang penting ini, bahwa sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Sesunnguhnya segala amal tergantung pada niat” adalah sebagai penjelasan tentang salah satu dari dua pilar dasar setiap amal, yaitu ikhlas dalam beramal dan jujur dalam batinnya sehingga yang selain Allah tidak meretas ke dalamnya.

Adapun pilar kedua adalah, bahwa setiap amal harus sesuai Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti dijelaskan dalam hadits, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada keterangannya dari kami maka dia tertolak”. Dan demikian itulah kebenaran yang dituntut setiap orang untuk merealisasikan dalam setiap pekerjaan dan ucapannya.

Atas dasar ini, maka kedua hadits yang agung tersebut adalah sebagai pedoman agama, baik yang pokok maupun cabang, juga yang lahir dan yang batin. Dimana hadits : “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” sebagai timbangan amal yang batin. Sedangkan hadits “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada keterangannya dari kami maka dia tertolak” sebagai tolak ukur lahiriah setiap amal.

Dengan demikian, maka kedua hadits tersebut memberikan pengertian, bahwa setiap amal yang benar adalah bila dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang keduanya merupakan syarat setiap ucapan dan amal yang lahir maupun yang batin.

Oleh karena itu, siapa yang ikhlas dalam setiap amalnya karena Allah dan sesuai sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was allam, maka amalnya diterima, dan siapa yang tidak memenuhi dua hal tersebut atau salah satunya maka amalnya tertolak. [1]

Dan demikian itulah yang dinyatakan oleh Fudhail bin Iyadh ketika menafsirkan firman Allah : “Supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya” [2] Beliau berkata, ‘Maksudnya, dia ikhlas dan benar dalam melakukannya. Sebab amal yang dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan diterima. Dan jika dia benar, tetapi tidak ikhlas maka amalnya juga tidak diterima. Adapun amal yang ikhlas adalah amal yang dilakukan karena Allah, sedang amal yang benar adalah bila dia sesuai dengan Sunnah Rasulullah” [3]

Al-Alamah Ibnul Qayyim berkata [4], “Sebagian ulama salaf berkata, “Tidaklah suatu pekerjaan meskipun kecil melainkan dibentangkan kepadanya dua catatan. Mengapa dan bagaimana ? Yakni, mengapa kamu melakukan dan bagaimana kamu melakukan ?

Pertanyaan pertama tentang alasan dan dorongan melakukan pekerjaan. Apakah karena ada interes tertentu dan tujuan dari berbagai tujuan dunia seperti ingin dipuji manusia atau takut kecaman mereka, atau ingin mendapatkan sesuatu yang dicintai secara cepat, atau menghindarkan sesuatu yang tidak disukai dengan cepat ? Ataukah yang mendorong melakukan pekerjaan itu karena untuk pengabdian kepada Allah dan mencari kecintaan-Nya serta untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ?

Artinya, pertanyaan pertama adalah, apakah kamu mengerjakan amal karena Allah, ataukah karena kepentingan diri sendiri dan hawa nafsu?

Adapun pertanyaan kedua tentang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengabdian itu. Artinya, apakah amal yang dikerjakan sesuai syari’at Allah yang disampaikan Rasul-Nya? Ataukah pekerjaan itu tidak disyari’atkan Allah dan tidak diridhai-Nya?

Pertanyaan pertama berkaitan dengan ikhlas ketika beramal, sedangkan yang kedua tentang mengikuti Sunnah. Sebab Allah tidak akan menerima amal kecuali memenuhi kedua syarat tersebut. Maka agar selamat dari pertanyaan pertama adalah dengan memurnikan keikhlasan. Sedang agar selamat dari pertanyaan kedua adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengerjakan setiap amal. Jadi amal yang diterima adalah bila hatinya selamat dari keinginan yang bertentangan dengan ikhlas dan juga selamat dari hawa nafsu yang kontradiksi dengan mengikuti Sunnah”.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya (I/231) berkata, “Sesungguhnya amal yang di terima harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allah. Kedua, benar dan sesuai syari’at. Jika dilakukan dengna ikhlas, tetapi tidak benar, maka tidak akan diterima”.

Pernyataan itu dikuatkan dan dijelaskan oleh Ibnu Ajlan, ia berkata, “Amal tidak dikatakan baik kecuali dengan tiga kriteria : takwa kepada Allah, niat baik dan tepat (sesuai sunnah)” [5]

Kesimpulannya, bahwa sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamn, “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” itu maksudnya, bahwa segala amal dapat berhasil tergantung pada niatnya. Ini adalah perintah untuk ikhlas dan mendatangkan niat dalam segala amal yang akan dilakukan oleh seseorang dengan sengaja, itulah yang menjadi sebab adanya amal dan pelaksanaannya. [6]

Atas dasar ini, maka seseorang tidak dibenarkan sama sekali menggunakan hadits tersebut sebagai dalil pembenaran amal yang batil dan bid’ah karena semata-mata niat baik orang yang melakukannya!

Dan penjelasan yang lain adalah, bahwa hadits tersebut sebagai dalil atas kebenaran amal dan keikhlasan ketika melakukannya, yaitu dengan pengertian, “Sesungguhnya segala amal yang shalih adalah dengan niat yang shalih”

Pemahaman seperti ini sepenuhnya tepat dengan kaidah ilmiah dalam hal mengetahui ibadah dan hal-hal yang membatalkannya.

Dan diantara yang menguatkan bahwa diterimanya amal bukan hanya karena niat baik orang yang melakukannya saja, tetapi harus pula sesuai dengan Sunnah adalah hadits sebagai berikut.

“Artinya : Bahwa seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apa yang Allah kehendaki dan apa yang engkau kehendaki”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Apakah kamu menjadikan aku sebagai tandingan bagi Allah? Tetapi katakanlah : “Apa yang dikehendaki Allah semata” [7]

Niat baik dan keikhlasan hati sahabat yang agung ini tidak diragukan. Tetapi ketika ucapan yang keluar darinya bertolak belakang dengan manhaj Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam akidah dan bertutur kata, maka Rasulullah mengingkari seraya mengingatkan kesalahannya dan menjelaskan yang benar tanpa melihat niatnya yang baik.

Hadits tersebut [8] adalah pokok dalil dalam sub kajian ini.

[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
__________
Foote Note
[1]. Bahjah Qulub Al-Abrar : 10 Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
[2]. Al-Mulk : 2
[3]. Hilyatu Auliya : VIII/95, Abu Nu’aim. Dan lihat Tafsir Al-Baghawi V/419, Jami’ul Al-Ulum wal Hikam : 10 dan Madarij As-Salikin I/83
[4]. Mawarid Al-Aman Al-Muntaqa min Ighatshah Al-Lahfan : 35
[5]. Jami Al-Ulum wal Hikam : 10
[6]. Lihat Fathul bari : I/13 dan Umdah Al-Qari : I/25
[7]. Hadits hasan, lihat takhrijnya dalam risalah saya : At-tasfiyah wat-tarbiyyah : 61
[8]. Dan hadist lain yang seperti itu masih banyak.

SEBAB-SEBAB BID’AH


Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari



Bukan hal yang samar bagi setiap orang, bahwa setiap kejadian memiliki sebab, yang dengannya dapat diketahui benar atau salahnya. Adapun sebab terjadinya bid’ah dengan berbagai ragam bentuknya adalah kembali kepada tiga hal. [1]

Pertama : Kebodohan Tentang Sumber Hukum Dan Cara Pemahamannya
Sumber hukum syar’i adalah Al-Qur’an dan Hadits dan apa yang diikutkan dengan keduanya berupa Ijma dan Qiyas. Tetapi qiyas tidak dapat dijadikan rujukan dalam hukum ibadah. Sebab di antara rukun dalam qiyas adalah bila ada kesamaan alasan hukum dalam dalil pokok dengan hukum cabang yang diqiyaskan, padahal ibadah semata-mata didirikan berdasarkan peribadatan murni.

Sesungguhnya bentuk kesalahan yang menyebabkan munculnya bid’ah adalah karena kebodohan tentang Sunnah, posisi qiyas dan tingkatannya, juga tentang gaya bahasa Arab.

Kebodohan terhadap hadits mencakup kebodohan tentang hadits-hadits shahih dan kebodohan menggunakan hadits-hadits dalam penentuan hukum Islam. Dimana yang pertama berimplikasi kepada hilangnya hukum, padahal dasar hukumnya adalah hadits shahih, sedang yang kedua berdampak pada tidak dipakainya hadits-hadits shahih dan tidak berpedoman kepadanya, bahkan digantikan posisinya dengan argumen-argumen yang tidak dibenarkan dalam syari’at.

Sedangkan kebodohan terhadap qiyas dalam penentuan hukum Islam adalah yang menjadikan ulama fikih generasi khalaf yang menetapkan qiyas dalam masalah-masalah ibadah dan menetapkannya dalam agama terhadap apa yang tidak terdapat dalam hadits dan amal, padahal banyaknya kebutuhan untuk mengamalkannya dan tidak ada yang menghalanginya.

Adapun kebodohan tentang gaya bahasa Arab adalah yang menyebabkan dipahaminya dalil-dalil bukan pada arahnya. Demikian itu menjadi sebab adanya hal baru yang tidak dikenal generasi awal.

Sebagai contoh adalah pendapat sebagian manusia tentang hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Jika kamu mendengar orang adzan maka katakanlah seperti apa yang dikatakannya kemudian bershalawatlah kepadaku” [Hadits Riwayat Muslim]

Mereka menganggap hadits tersebut sebagai perintah kepada orang yang adzan untuk membaca shalawat setelah selesai adzan, dan beliau memintanya untuk mengeraskan suaranya, sehingga hadits ini dijadikan dalil disyariatkannya bershalawat dengan suara yang keras. Mereka mengarahkan arti perintah bershalawat kepada orang yang adzan dengan alasan bahwa pembicaraan hadits untuk umum kepada semua kaum muslimin, sedangkan orang yang adzan masuk di dalamnya. Atau bahwa ungkapan “ Jika kamu mendengar” mencakup kepada orang yang adzan karena dia juga mendengar adzannya sendiri!

Kedua penakwilan tersebut adalah disebabkan kebodohan tentang gaya bahasa. Sebab permulaan hadits tidak mencakup perintah kepada orang yang adzan, dan akhir hadits datang sesuai dengan awalnya, sehingga tidak mencakup juga kepada orang yang adzan.

Sesungguhnya ulama qurun awal berijma (bersepakat) bahwa mengetahui karakteristik bahasa Arab untuk pemahaman Al-Qur’an dan Hadits adalah sebagai syarat dasar dalam kebolehan untuk berijtihad dan menyimpulkan dalil-dalil syar’i.

Adapun kebodohan tentang tingkatan qiyas dalam sumber hukum Islam, yaitu qiyas boleh dipakai apabila tidak ada hadits dalam masalah tersebut, kebodohan akan hal ini mengakibatkan suatu kaum melakukan qiyas padahal terdapat hadits yang kuat, namun mereka tidak mau kembali kepadanya sehingga mereka terjerumus ke dalam bid’ah.

Bagi orang yang mencermati berbagai pendapat ulama fiqih niscaya dia mendapatkan banyak contoh tentang hal ini. Dan yang paling dekat adalah apa yang dikatakan sebagian orang dalam mengqiyaskan orang yang adzan dengan orang yang mendengarnya dalam perintah membaca shalawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah adzan. Padahal pendapat hadits yang sangat jelas mengenai hukum tersebut sebagaimana telah disebutkan, sedangkan hadits harus di dahulukan atas qiyas. Sebab redaksai, “Jika kamu mendengar adzan … (sampai akhir hadits)” menunjukkan kekhususan perintah membaca shalawat setelah adzan hanya kepada orang yang mendengar adzan.

Kedua : Mengikuti Hawa Nafsu Dalam Menetapkan Hukum
Orang yang terkontaminasi hawa nafsunya bila memperhatikan dalil-dalil sayr’i, dia akan terdorong untuk menetapkan hukum sesuai dengan selera nafsunya kemudian berupaya mencari dalil yang dijadikan pedoman dan hujjah.

Artinya, dia menjadikan hawa nafsu sebagai pedoman penyimpulan dalil dan penetapan hukum. Demikian itu berarti pemutarbalikan posisi hukum dan merusak tujuan syari’at dalam menetapkan dalil.

Mengikuti hawa nafsu adalah akar dasar penyelewengan dari jalan Allah dan lurus. FirmanNya.

“Artinya : Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah seikitpun?” [Al-Qashash : 50]

Fakta membutktikan bahwa akibat mengikuti hawa nafsu menjadikan berbagai peraturan dalam agama menjadi pudar dan setiap kebaikan menjadi terhapuskan.

Bid’ah karena mengikuti hawa nafsu adalah bentuk bid’ah yang paling besar dosanya di sisi Allah dan paling besar pelanggarannya terhadap kebaikan. Sebab betapa banyak hawa nafsu yang telah merubah syari’at, mengganti agama dan menjatuhkan manusia ke dalam kesesatan yang nyata.

Ketiga : Menjadikan Akal Sebagai Tolak Ukur Hukum Syar’i.
Sesungguhnya Allah menjadikan akal terbatas penalarannya dan tidak menjadikannya sebagai pedoman untuk mengetahui segala sesuatu. Sebab ada beberapa hal yang sama sekali tidak terjangkau oleh akal dan ada pula yang terjangkau hanya sebatas lahirnya saja dan bukan substansinya. Dan karena keterbatasan akal, maka hampir tidak ada kesepahaman tentang hakikat yang diketahuinya. Sebab kekuatan dan cara pemahaman orang berbeda-beda menurut para peniliti.

Maka, dalam sesuatu yang tidak dapat dijangkau akal dan penalaran, menusia harus merujuk kepada pembawa berita yang jujur yang dijamin kebenarannya karena mu’jizat yang dibawanya. Dia adalah seorang rasul yang dikuatkan dengan mu’jizat dari sisi Allah Yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu yang Maha cermat dengan apa yang Dia ciptakan.

Atas dasar ini Allah mengutus para rasulNya untuk mejelaskan kepada manusia apa yang diridhai Pencipta mereka, menjamin kebahagiaan mereka, dan menjadikan mereka memperoleh keberuntungan dalam kebaikan dunia dan kebaikan di akhirat.

Sesungguhnya sebab-sebab terjadinya bid’ah yang kami sebutkan diatas telah tercakup semua sisinya dan terpadunya pokok-pokoknya dalam hadits.

“Artinya : Akan mengemban ilmu ini dari setiap generasi, orang-orang yang adil di antara mereka yang akan menafikan orang-orang yang ekstrim, dan ajaran orang-orang yang melakukan kebatilan serta penakwilan orang-orang yang bodoh” [2]

Ungkapan “ perubahan orang-orang yang ekstrim” mengisyaratkan kepada sikap fanatik dan belebihan. Sedang ungkapan “ajaran orang-orang yang melakukan kebatilan “ mengisyaratkan kepada yang menganggap baik mendahulukan akal dan mengikuti hawa nafsu dalam menetapkan hukum syar’i. Lalu ungkapan “penakwilan orang-orang yang bodoh” mengisyaratkan kepada kebodohan dalam sumber-sumber hukum dan cara pemahamannya dari sumber-sumbernya.

[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Kitab Al-Bid’ah, karya Syaikh Mahmud Syaltut : 17-36
[2] .Hadits hasan Lihat Isryad As-Sari I/4 oleh Al-Qasthallani dan Al-Hiththah oleh Shiddiq Hasan Khan : 70
 

SETIAP KESESATAN DI NERAKA


Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari



Ungkapan yang pasti benarnya yang disampaikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut terasa musykil dalam benak banyak orang jika mereka dihadapkan kepadanya ketika membuat atau melakukan bid’ah. Dimana seseorang menjawab dengan rasa tidak senang : “Apakah karena bid’ah yang kecil ini saya di neraka?”

Untuk menjelaskan masalah ini dan jawaban terhadap kemusykilan tersebut dapat kita cermati dari dua hal sebagai berikut.

Pertama : Sesungguhnya di antara akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah, ”Kita tidak menempatkan seseorang dari ahli kiblat tentang surga atau neraka”. Demikain ini dikatakan oleh Abu Ja’far Ath-Thahawi dalam kitab Aqidah Ath-Thahawiyah (hal.378) yang disyarahkan oleh Ibnu Abul Izz Al-Hanafi.

Jadi, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap kesesatan di neraka” merupakan ancaman yang terdapat dalam banyak hadits dan ayat Al-Qur’an.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata [1] : “Seseorang yang berilmu terkadang menyebutkan ancaman terhadap sesuatu yang dilihatnya sebagai perbuatan dosa, padahal dia mengetahui bahwa orang-orang yang menakwilkannya [2] diampuni dan tidak terkena ancaman. Tetapi dia menyebutkan hal tersebut untuk menjelaskan bahwa perbuatan dosa mengakibatkan mendapat siksa. Dia hanya mengingatkan menghalangi orang dari perbuatan dosa”.

Kedua : Bahwa Ibnu Taimiyah dalam Fatawanya (IV/484) berkata : “Karena nash-nash ancaman [3] bentuknya umum, maka kita tidak menyatakan dengannya kepada orang tertentu bahwa dia termasuk penghuni neraka. Sebab kemungkinan tidak berlakunya hukum yang ditetapkan pada orang yang melakukannya karena adanya penghalang yang kuat, seperti karena taubat, musibah yang menghapuskan dosa, atau syafa’at yang diterima, dan lain-lain”.

Jadi sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap kesesatan di neraka” adalah sifat terhadap amal yang dilakukan seseorang dan sifat dari buah amal yang dilakukannya jika tidak disusuli dengan taubat dan meninggalkannya.

Kemudian ungkapan : “… di neraka” tidak mengharuskan kekal di neraka atau lama di dalamnya. Tetapi seseorang akan masuk neraka sesuai maksiat yang diperbuatnya, baik bentuknya bid’ah atau yang lain.

Berdasarkan hal ini, berlaku hukum lain, yaitu menghalalkan sesuatu yang dilarang dalam agama. Maka siapa yang menghalalkan bid’ah atau yang lainnya dari bentuk-bentuk maksiat dengan menghalalkan dalam hatinya padahal dia mengetahui dan mengakui bahwa sesuatu yang dilakukan tidak ada dasarnya dalam Sunnah, bahkan dia mengetahui, bahwa ia mengoreksi syari’at [4], maka ketika itulah dia “di neraka” karena dia kufur. Semoga Allah melindungi kita dari neraka.

At-Thahawi dalam kitabnya Aqidah yang disarahkan Ibnu Abul Izzi (hal. 316) berkata, “Kita tidak mengkafirkan seorang ahli kiblat yang berbuat dosa selama dia tidak menghalalkan perbuatan dosa tersebut”.

Dan tidak syak bahwa bid’ah adalah dosa yang sangat jelas dan maksiat yang paling nyata [5]. Dan bahwa dalil-dalil yang mengecamnya dan memerintahkan untuk menjauhinya banyak sekali.

Kesimpulannya, bahwa pendapat-pendapat yang batil, bid’ah dan diharamkan yang bernuansa menafikan sesuatu yang telah ditetapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menetapkan sesuatu yang dinafikannya, atau memerintahkan sesuatu yang dilarangnya, atau melarang sesuatu yang di perintahkannya, maka kebenaran dikatakan kepadanya dan disampaikan kepadanya ancaman yang disebutkan dalam nash-nash yang ada. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Abul Izz Al-Hanafi dalam Syarah Aqidah Ath-Thahawiyah (hal.318). [6]

[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
__________
Foote Note
[1]. Majmu Al-Fatawa XXIII/305
[2]. Lihat “Antara Membuat Bid’ah dan Ijtihad” yang akan disebutkan dalam Bab III Pasal 1 dalam buku ini.
[3]. Lihat Al-Hujjah II/71 oleh Ash-Shabuni
[4]. Lihat Bab I (pengantar), Kesempurnaan dan Kecukupan Syari’ah.
[5]. Lihat Bab III Pasal 4 “Antara Bid’ah dan Maksiat”
[6]. Disini kami ingin menyebutkan bahwa saya tidak melihat karya ulama yang menjelaskan kajian pada pasal ini, menurut hasil telaah saya dari berbagai buku rujukan. Mudah-mudahan saya mendapatkan taufiq kepada kebenaran dalam tulisan saya ini, dan Allah adalah yang memberi petunjuk kepada jalan kebenaran. Kemudian saya melihat isyarat-isyarat tentang sub kajian ini dalam Manhaj Al-Asya’riyah fil Aqidah : 73-79 Karya Safar Al-Hawali.

MENYIKAPI BUKU-BUKU MENYESATKAN

Oleh 
Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman



Kami nasehatkan kepada saudara-saudara kami untuk memiliki motto :

"Bersama Tinta Sampai Ke Liang Kubur"

Dan tidak berhenti dalam menuntut ilmu dengan duduk di majlis-majlis ulama atau sowan langsung kepada mereka dan inilah jalan yang bermanfaat dan paling menyenangkan. Atau juga bisa menekuni buku-buku yang telah diterbitkan atau ditahqiq (diteliti) dari warisan ulama terdahulu atau sekarang[1]

Akan tetapi hasil keilmuan hebat yang tersebar saat ini di berbagai percetakan tidak seluruhnya mempunyai nilai yang sama, ada buku-buku yang penting (inipun bertingkat-tingkat), ada juga yang tidak berguna dan macam ke-3 adalah buku-buku berbahaya yang tidak mempunyai nilai, yang inipun bertingkat-tingkat. Karenanya kami berpendapat pentingnya pembahasan yang berisi hukum-hukum fiqih berkaitan dengan buku-buku yang ditahdzir (diperingatkan) oleh para ulama.

HUKUM JUAL BELI BUKU MENYESATKAN
Wajib bagi para penerbit untuk bertaqwa kepada Allah Azza wa Jalla dalam memilih tema-tema buku yang bermanfaat bagi manusia, untuk membenarkan aqidah dan meluruskan ibadah mereka. Hendaklah mereka berpegang pada kaedah :'Menerbitkan buku yang bermanfaat bagi para penelaah, bukan buku yang mereka minta."Karena kebanyakan orang umum meminta buku-buku menyesatkan yang laris dipasaran, sehingga (dengan menerbitkan buku-buku itu) memberikan keuntungan materi yang segera kepada penerbit.

Jika manusia membutuhkan buku yang bermanfaat, kemudian mereka mencarinya maka demikian itu adalah keadaan yang bagus. Akan tetapi (penerbit) haruslah meniatkan mencari pahala dalam memilih buku tersebut, sehingga penerbit tidak hanya mendapatkan keuntungan harta benda. Barangsiapa yang melakukan hal tersebut maka dia mendapat pahala disisi Allah Shubhanahu wa Ta'ala Insya Allah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu pernah ditanya tentang orang yang menyalin (menulis) Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Al-Qur'an dengan tangannya, dengan niat untuk menulis hadits dan niat lainnya. Jika ia menyalin tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk dijual, apakah ia akan mendapat pahala??

Maka beliau menjawab (Majmu' Fatawa 18/74-75) setelah memuji Shahihain, kitab-kitab sunan, Musnad, dan Muwatho' dengan redaksi sebagai berikut : Manusia mendapat pahala dengan tulisannya tersebut, baik ia menulis untuk dirinya atau untuk dijual sebagaimana sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam.

"Artinya : Sesungguhnya Allah memasukkan 3 jenis orang kedalam surga dikarenakan satu anak panah (untuk berjihad) : pembuatnya, pelemparnya, dan orang yang membantunya untuk mengambil anak panah)"[2]

Saya (Syaikh Masyhur) berkata : "Dan seperti itu (hukumnya) buku-buku yang bermanfaat (yaitu buku-buku selain mushaf dan buku hadits) sebagaimana Allah memberi pahala kepada penyusun, maka penerbitnyapun mendapat pahala juga. Akan tetapi perlu memperhatikan hal-hal berikut :

[A]. Haram Menjual Buku-Buku Yang Berisi Syirik Dan Peribadahan Kepada Selain Allah Shubhanahu Wa Ta'ala.
Ibnul Qayyim berkata (Lihat Zaadul Maad 5/761) ketika membahas jual beli yang terlarang : "Dan seperti itu (haram menjual) buku yang berisi syirik dan ibadah kepada selain Allah.Ini semua wajib disingkirkan dan dihilangkan karena menjualnya adalah jalan untuk memiliki dan mengoleksi kitab-kitab tersebut. "Menjual kitab-kitab ini tentu lebih diharamkan daripada menjual barang-barang yang lain karena bahaya menjualnya adalah sebanding dengan bahaya yang dikandung oleh buku itu sendiri."

[B]. Haram Menjual Buku-Buku Berisi Khurafat Dan Perdukunan.
Al-Wanasy-risyi mengatakan : "Sebagian ulama ditanya tentang buku-buku yang berisi hal-hal yang tidak masuk akal (termasuk hal ini : cerita bergambar yang terdapat ditaman-taman bacaan, -pent) dan sejarah yang jelas bohongnya (dongeng, legenda, -pent) seperti kitab tarikh (legenda/sejarah) 'antarah dan dalhamah dan berisi caci maki, syair, lagu dan lain-lain. Apakah boleh dijual atau tidak? Maka mereka menjawab :"Tidak Boleh Dijual dan Dilihat".

Syaikh Abul Hasan al-Bathrani menceritakan bahwa ia hadir dalam halaqah fatwanya Ibnu Qidah, ketika beliau ditanya tentang orang yang suka mendengar cerita dari buku 'antarah ,apakah boleh menjadikannya sebagai imam? Maka Ibnu Qidah menjawab :"Tidak boleh mengangkatnya sebagai imam dan sebagai saksi.Demikian juga cerita buku Dalhamah, karena itu merupakan kebohongan, dan orang menghalalkan dusta adalah pendusta.Dan seperti itu (hukum bagi) buku astrologi (buku tentang perbintangan) dan buku-buku mantra dengan bahasa yang tidak diketahui." [Lihat Al-Mi'yar Al-Mu'arab 6/70]

Saya berkata (Syaikh Masyhur) :"Adapun keimamannya adalah sah karena orang gugur / batal shalatnya tidak membatalkan shalat orang lain. Tetapi tidak seyogyanya menawarkan jabatan imam kecuali kepada orang yang layak. Dan orang yang seperti ini (hobi dengan cerita-cerita fiksi, -pent) hendaknya dilarang menjadi imam. Inilah idealnya, wallahu a'lam.

[C]. Tidak Boleh Menjual Buku Yang Banyak Kesalahannya Kecuali Sesudah Dijelaskan.
Ibnu Rusyd rahimahullahu ditanya tentang orang yang membeli mushaf al-Qur'an atau buku yang banyak kesalahan dari segi percetakan, lalu ia ingin menjualnya, apakah ia wajib menjelaskannya? Dan jika ia menjelaskannya tentu tidak ada yang mau membelinya.

Maka beliau menjawab:"Tidak boleh ia menjual sehingga dijelaskan, wabillahi taufiq. [Fatawa Ibnu Rusyd 2/922-923, Al-Mi'yar Al-Mu'arab 6/203]

Aku (Syaikh Masyhur) berkata :"Maka jika menjual buku yang banyak salah dari segi tulisan dan bagian luarnya tidak boleh, maka tentu lebih terlarang jika salahnya itu dari segi isi dan makna."

[D]. Haram Menjual Buku-Buku Berisi Mantra-Mantra, Jimat-Jimat (Buku Mujarobat Dan Faedah Asmaul Husna, -pent) Taawudz Dan Cara-Cara Menghadirkan Arwah Dan Jin.
Ibnu Baththah al-'Ukbari rahimahullahu berkata :"Termasuk bid'ah adalah melihat/memandang buku berisi mantra-mantra dan mempraktekkannya ,dan mengaku-aku bisa bicara dengan jin, menjadikan jin sebagai khadam dan membunuh jin.

Demikian pula termasuk bid'ah memakai dan menggantung jimat-jimat dan do'a-do'a untuk meminta perlindungan kepada jin. [Lihat Asy-Syarhu wal Ibanah hal : 361]

[E]. Haram Menjual Diwan-Diwan Syi'ir (Buku Berisi Kumpulan Puisi Atau Syair Lagu, -pent) Yang Berisi Ejekan, Dendam, Dan Perkataan Kotor/Cabul. 
Imam Al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya 1/337 : "Ibnul Qasim membenci mengambil upah sebagai balasan mengajar syi'ir dan nahwu. Ibnu Habib berkata :"Tak mengapa mengupah seseorang untuk mengajar syi'ir, risalah dan peperangan-peperangan orang Arab (sejarah Arab yang biasanya diabaddikan dalam syair, -pent) dan dibenci syi'ir yang berisi dendam, kata-kata jorok dan ejekan."

Saya (Syaikh Masyhur) berkata :"Berdasar perkataan Imam Al-Qurthubi haram menjual diwan-diwan syi'ir yang penuh dengan hal-hal yang bertentangan dengan Islam.". Hal ini ditegaskan oleh Imam Adz-Dzahabi beliau berkata : "Sya'ir adalah ucapan sebagaimana jenis ucapan manusia yang lain, maka syair yang baik adalah baik, dan syair yang buruk adalah buruk. Berlebihan dalam masalah syair adalah mubah, [Pahamilah kata-kata beliau ni dengan judul Bab yang dibuat oleh Imam Bukhari, yakni Kitab Adab, Bab dibencinya keadaan dimana syai'ir menyibukkan seorang sehingga menghalanginya dari dzikrullah, ilmu syar'i dan Al Qur'an- Fathul Bari juz 10 hal.548]

Kecuali berlebihan dalam menghafal syair-syair seperti syair-syair Abu Nawas, Ibnu Hajjaj (sufi) dan Ibnu Faridh (sufi) , maka dalam hal ini hukumnya "haram".

Dalam seperti ini Nabi Shalallahu alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Sungguh perut salah satu kamu penuh berisi nanah sehingga merusak perut, lebih baik daripada penuh berisi syair." [Bukhari dalam shahihnya 10/548, Muslim dalam shahihnya 4/1769 dari Abu Hurairah]

Saya (Syaikh Masyhur) berkata :"Maka haram menjual buku-buku mereka (orang-orang yang menyimpang lagi meremehkan agama) kecuali kepada Ahli Ilmu dan Penunutut Ilmu untuk mentahdzhir (memperingatkan) bahayanya. Allah-lah tempat memohon pertolongan. Tidak ada Rabb selainNya. Termasuk hal ini adalah diwan-diwan syair yang berisi hal-hal yang bertentangan dengan aqidah Islam, seperti syair Sufi (barzanzi, diba' dan lain-lain, -pent)

As-Sakwani berkata didalam Lahnul Awam halaman 149, setelah menyebutkan syair-syair yang menyelisihi syariat :"Ini semua dan hal-hal yang serupa dengannya adalah haram menyebarkan dan membiarkannya. Membakarnya adalah wajib dan tidak halal menjualnya di pasar."

[F]. Haram Menjual Buku-Buku Filsafat Dan Ilmu Kalam
Ibnu Katsier berkata dalam Al Bidayah wan Nihayah 11/69 ketika membeberkan kejadian-kejadian pada tahun 279H: "Dalam tahun ini diumumkan tentang terlarangnya penjualan buku-buku filsafat, ilmu kalam dan debat. Itu merupakan keinginan Abul Abbas Al Mu'tadhid, penguasa Islam."

Hafizhuddin bin Muhammad yang terkenal dengan sebutan al-Kardiry (w.872H) menceritakan sebuah hikayat yang bagus untuk menjelaskan nilai buku-buku ini (filsafat) disisi para shahabat Nabi.Beliau berkata : "Diceritakan, ketika Amr bin Al-Ash menguasai kota Iskandariyah, disana ada seorang ahli filsafat bernama Yahya, yang digelari Thumathikus -yaitu ahli ilmu nahwu- , dan penduduk Iskandariyah melaknat dirinya. Ia menganut sekte Al-Yaqubiyah dalam masalah trinitas, kemudian ia meninggalkan trinitas. Maka penduduk Mesir yang beragama Nasrani mendebatnya dan menjatuhkan martabatnya di tengah-tengah masyarakat. Takkala Iskandariyah dikuasai Amr, maka ia selalu menyertai Amr dan suatu hari ia berkata kepada Amr: "Engkau telah mengetahui rahasia penduduk negeri ini, dan engkau menyegel seluruh gudang yang ada, dan engkau tidak mau mengambil menfaat darinya, padahal dalam hal ini tidak seorangpun yang menentangmu. Dan apa-apa yang tidak engkau manfaatkan maka lebih baik diserahkan kepada kami saja!.". Maka Amr berkata :"Apa yang kau butuhkan?" Yahya berkata :"Buku-buku filsafat yang ada di gudang." "Itu tidak mungkin kecuali dengan ijin dari Amirul mukminin," jawab Amr. Kemudian Umar menulis (jawaban) kepada Amr: "Adapun buku-buku yang telah kau ceritakan ,jika sesuai dengan Kitabullah, maka Kitabullah sudah mencukupinya, jika tidak sesuai dengan Kitabullah maka tidak diperlukan.(Oleh karena itu) "Lenyapkanlah" buku-buku itu."

Maka Amr membagikan buku-buku tersebut pada perapian-perapian di Iskandariyah dan memerintahkan untuk membakar buku-buku tersebut, sehingga selesailah pemusnahan buku-buku filsafat dalam jangka 6 bulan.

[G]. Haram Menjual Buku-Buku Karya Al-Hallaj, Ibnu Arabi Dan Tokoh-Tokoh Sufi Lainnya
Al-Malik Al-Muayyib Ismail Abu Fida' dalam Akhbar Al-Basyar 4/79 :"Ketika tahun 744H, di tahun itu kami mengkoyak-koyak dan mencuci (melunturkan tinta) Kitab Fushulul Hikam karya Muhyidin Ibnu Arabi di Madrasah Al-Ush-furiyah di Halb sesudah pelajaran (didepan murid) sebagai peringatan haramnya menelaah dan memiliki kitab tersebut dan aku berkata : Kitab Fushuh ini sebenarnya tidaklah berharga Aku membaca goresan-goresannya Ternyata isinya adalah sebaliknya (dari judulnya)

[Disalin dari Majalah As-Sunnah edisi 12/Th.IV/1421-2000. Diterjemahkan secara ringkas oleh Aris Munandar bin.S.Ahmadi al-Lamfuji, Penerbit Yayasn Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
__________
Footenotes
[1]. Hal ini karena belajar melalui buku itu memiliki 2 kesulitan : 1. Membutuhkan waktu lama dan kesungguhan yang sunguh-sungguh, 2. Ilmu yang berasal dari buku-buku adalah lemah, tidak dibangun diatas kaidah dan ushul. Lihat. Kitabul Ilmi, Ibnu Utsaimin , hal 68-69 Daruts Tsariya, 1417
[2]. Hadits dhaif, lihat takhrij Fiqhus Sirah, oleh Al-Albani hal 225-226, tetapi pengambilan dalil yang dilakukan Syaikhul Islam adalah benar berdasarkan sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam : "Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia mendapatkan (pahala) seperti pahala pelakunya [Hadits Riwayat Muslim]

HUKUM MENGHANCURKAN BUKU-BUKU AHLI BID'AH DAN SESAT


Oleh 
Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman



Didalam As-Shawarimul Haddad hal. 68 Imam Syaukani menukil ucapan sekelompok ulama seperti Al-Bulqainy, Ibnu Hajar, Muhammad bin Arafah, dan Ibnu Khaldun, berkaitan dengan buku-buku yang ditahdzhir:

Hukum mengenai buku-buku yang berisi aqidah yang menyesatkan dan buku-buku yang banyak beredar di tengah-tengah masyarakat seperti al-Fushulul Hikam dan Futhuhatul Makkiyah karya Ibnu Arabi, Al-Bad karya Ibnu Sab'in, Khal'un Na'lain karya Ibnu Qasi, 'Alal Yakin karya Ibnu Barkhan dan disamakan dengan buku-buku ini kebanyakan syair-syair Ibnu faridh dan Al-'Afif At-Tilmisani. Demikian juga buku syarh Ibnul Farghani terhadap qasidah at-Taiyah karya Ibnul Faridh. 

Hukum dari buku-buku ini dan semisalnya adalah "Harus Dilenyapkan Kapan Saja Ditermukan" dengan cara dibakar atau dilunturkan tintanya dengan air.

Imam Ibnul Qayyim mempunyai perkataan yang sangat bagus tentang keharusan membakar dan menghancurkan buku-buku ahli bid'ah dan sesat, dan behwa orang yang melakukan hal itu tidak menanggung ganti rugi, beliau rahimahullahu berkata :" Demikian juga tidak ada ganti rugi didalam membakar dan menghancurkan buku-buku yang menyesatkan."

Al Marudzi berkata kepada Imam Ahmad :"Aku meminjam buku yang banyak berisi hal-hal yang jelek, menurut pendapatmu apakah (lebih baik) aku rusakkan atau aku bakar ?

Imam Ahmad menjawab :"Ya, Nabi Shalallahu alaihi wa sallam pernah melihat buku ditangan Umar yang ia salin dari Taurat dan ia terkagum-kagum dengan kecocokan Taurat dengan Al-Qur'an, maka berubahlah raut muka Nabi Shalallahu alaihi wa sallam sehingga pergilah Umar ketungku lalu melemparkannya ke dalam tungku."

Maka bagaimanakah seandainya Nabi Shalallahu alaihi wa sallam melihat buku-buku yang ditulis untuk menentang al-Qur'an dan Sunnah, Allah-lah tempat memohon pertolongan. Sedangkan Nabi Shalallahu alaihi wa sallam pernah memerintahkan orang yang menulis dari beliau selain Al Qur'an hendaklah ia hapus, kemudian beliau Shalallahu alaihi wa sallam membolehkan menulis As-Sunnah dan tidak ada ijin untuk selain itu.

Dan setiap buku yang berisi hal-hal yang menyelisihi Sunnah tidaklah diijinkan, bahkan diijinkan untuk membakar dan menghancurkannya. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi umat ini daripada buku-buku sesat itu.

Bahkan para shahabat membakar semua mushaf yang berbeda dengan mushaf Utsman karena ditakutkan terjadinya perselisihan ditengah umat, maka bagaimanakah jika para shahabat melihat buku-buku yang telah menimbulkan perselisihan dan perpecahan ditengah-tengah umat??

Al-Khalal berkata bahwa Muhammad bin Harun mengabarkan padanya, bahwa Abul Harits telah bercerita kepada mereka bahwa Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata :"Mengarang buku telah membinasakan mereka, mereka meninggalkan hadits-hadits Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam dan menerima ilmu kalam."

Al-Khalal berkata bahwa Muhammad bin ahmad bin Washi Al Muqry mengatakan bahwa ia mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) ditanyai tentang ro'yu (akal, pendapat) maka ia mengangkat suaranya seraya berkata :"Sesuatu yang berasal dari ro'yu tidak akan tetap, wajib atas kalian menetapi Al-Qur'an, Al-Hadits, dan Atsar (riwayat)."

Di dalam riwayat Ibnu Masyisy ,ada seorang bertanya kepada Imam Ahmad :"Bolehkah aku menulis ro'yu (pendapat), maka beliau menjawab :"Apa yang kalian perbuat dengan ro'yu? Wajib atas kalian belajar Sunnah dan menetapi hadits-hadits yang telah dikenal (keshahihannya)"

Kemudian Al-Khalal berkata :"Permasalahan menyusun buku perlu ada perincian yang tempatnya bukan disini (lihat rincian pada Al Muwafaqat karya Asy-Syathibi 1/97-99) dan sesungguhnya Imam Ahmad membenci dan melarang hal itu karena bisa menyibukkan dan memalingkan dari Al-Qur'an dan Sunnah, serta pembelaan Al-Qur'an dan Assunnah. Adapun buku-buku untuk membantah pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab yang menyelisihi Al-Qur'an dan As-Sunnah maka tidaklah mengapa, bahkan menjadi wajib atau mustahab (disukai) atau mubah tergantung keadaan.Wallahu a'lam.

Kesimpulannya, sesungguhnya buku-buku yang berisi kebohongan, dan bid'ah wajib dihancurkan dan dimusnahkan. Hal ini lebih wajib daripada menghancurkan alat-alat permainan musik, serta menghancurkan bejana khamr, karena bahaya buku yang menyesatkan lebih berbahaya dari bahaya alat-alat ini. Dan tidak ada ganti rugi dalam masalah ini, sebagaimana tidak ada ganti rugi dalam hal memecahkan bejana khamr." [1] 

Didalam kisah taubat Ibnu Ka'ab bin Malik Radhiallahu anhu dia mengatakan :"Maka aku (Ka'ab) menuju perapian kemudian membakar surat itu (surat Raja Ghosan)". [HR. Bukhari 8/86,93, Muslim no.2769]

Ibnul Qayyim berkomentar :"Didalam kisah ini ada anjuran untuk bersegera menghancurkan hal-hal yang menimbulkan kerusakan dan bahaya bagi agama. Orang yang teguh hati tidaklah menunggu-nunggu dan mengulur-ulur hal itu. Seperti ini juga sikap yang harus diberikan kepada khamr dan buku-buku yang ditakutkan menimbulkan bahaya dan kejelekan, yaitu dengan penuh kemantapan hati segera menghancurkan dan memusnahkannya." [2]

Syaikhul Islam juga memberikan fatwa untuk membakar beberapa kitab, lihat akhir no. 59 kitab Al-Akhbar didalam al-jami', yang terdapat dibagian akhir Mushannaf Abdir razzaq 11/424 dan Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 6/211-212 cetakan darul Fikr bab :..dan membakar kitab

Abu Abdillah Al-Hakim berkata :"Ishaq, Ibnul Mubarak, dan Muhammad Yahya, mereka semua memendam buku-buku yang mereka tulis, demikian diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi didalam Siyar 2/337 dan berkomentar:

"Inilah perbuatan beberapa Imam yang menunjukkan bahwa mereka menganggap tidak bolehnya mengambil ilmu secara wijadah (membaca sendiri) karena tulisan kadang berubah ditangan penukil dan mungkin bertambah satu huruf sehingga merubah makna. Adapun sekarang, kebohongan telah tersebar, sedikit orang yang mau belajar dien lewat mulut para guru dan juga dari buku-buku yang tidak ada kesalahannya, bahkan sebagian penukil Kitab terkadang tidak bisa mengeja dengan baik."

Pada biografi Abu Kuraib Muhammad bin Al 'Ala Al Hamdani (w.248) ,Muthayan berkata :"Abu Kuraib berwasiat agar buku-buku karyanya dipendam, maka dilaksanakan wasiat beliau."

Kemudian Adz-Dzahabi didalam Siyar 11/397 memberikan komentar : "Beberapa ahli hadits telah mewasiatkan agar buku-bukunya dipendam, dibakar, atau dicuci (dilunturkan tintanya), karena takut buku tersebut dipegang oleh muhaddits yang kurang agamanya, kemudian ia akan merubah-rubah dan menambahinya, kemudian hal itu dinisbatkan kepada Al-Hafidz (ahli hadits pemilik kitab). Atau didalam kitab itu terdapat riwayat yang putus atau lemah yang tidak pernah ia ceritakan, sedangkan yang telah ia riwayatkan adalah hal-hal yang telah dipilih. Maka ia pada akhirnya membenci hasil tulisannya, dan tidak ada jalan lain kecuali harus dimusnahkan.Karena hal ini dan lainnya ia memendam buku-bukunya."

Saya (Syaikh Masyhur) berkata : "Buku-buku yang penuh dengan racun kalajengking dan ular (yang berisi kejelakan dan kemungkaran) lebih layak untuk dipendam, dimusnahkan dan dibakar.

Mungkin teori modern terhadap kebebasan berfikir yang ada di zaman ini menganggap sikap seperti ini adalah ta'ashub (ekstrim), akan tetapi itulah sikap yang benar dengan memandang kemaslahatan umat Islam karena umat Islam adalah sebuah jama'ah yang satu fikrahnya. Dan kewajibannya yang dibebankan Islam ke punggung umatnya tidak mungkin dilaksanakan tanpa kesatuan ini. Maka Islam tidak rela musnahnya kesatuan fikrah ini untuk membawa umat kepada pemurtadan pemikiran dan kekacauan pemikiran. Karena umat tidak akan mampu melawan kekuatan penentangan didalam bidang ilmu dan teknologi selama keimanan mereka terhadap falsafah hidupnya masih lemah dan asas (landasan) berfikirnya belum kokoh. Sejarah menyaksikan bahwa setiap dasar (asas) berfikir umat roboh, menyebabkan filsafat asing (kafir) melelehkan umat dari dalam. Umat yang dahulunya melahirkan da'i-da'i yang menyeru kepada agama Allah dan pembawa bendera kebenaran berubah melahirkan orang-orang kafir, durhaka dan menentang.

Sikap tegas terhadap buku-buku yang menyelishi Al Qur'an dan Sunnah ini bukan berarti tidak mengobati khilaf (perselisihan) yang tumbuh ditengah umat dengan lembut,saling memahami, dan diskusi atau berarti menghilangkan perselisihan dengan kekerasan. Bahkan sikap ini sebenarnya bermakna kerja keras agar umat tetap berada diatas jalan yang haq, berpegang teguh terhadap iman dan diennya, tanpa melarang diskusi pemikiran yang terarah dan bantahan terhadap pembahasan ilmiyah dan pemikiran dengan pembahasan yang serupa dalam bentuk ilmiyah yang kokoh.

Imam Ibnul Qayyim -sebagaimana kami telah sebutkan sikap beliau terhadap buku-buku yang menyelesihi alKitab dan Sunnah - berpendapat bahwa bantahan ilmiyah terhadap buku-buku tersebut tidak hanya mubah bahkan terkadang wajib atau mandud (disukai) tergantung keadaan (lihat redaksi yang telah lewat).

Ada sebuah kisah menarik tentang kematian Imam ash-Shan'ani (w 1182H), yaitu beliau tertimpa sakit perut (mencret) yang menguras isi perut beliau .Keluarga beliau mencarikan obat tetapi tidak berguna sedikitpun.

Kemudian dibawakan dua buah buku kepada beliau, yaitu Al-Insan Al Kamil karya Al Jili, dan al-Madhnun Bihi 'Ala Ahlihi karya Al-Ghazali, yang beliau pernah berkomentar : "Aku tidak menganggapnya sebagai karya beliau. Buku ini hanyalah dinisbatkan secara dusta." Kemudian imam Ash-Shan'ani berkata : "Kemudian aku menelaah buku tersebut, maka aku temukan buku tersebut berisi kekufuran yang nyata, maka aku perintahkan supaya kedua buku itu dibakar dengan api dan apinya digunakan untuk membuat roti untukku." Kemudian beliau makan roti dengan niat sebagai obat, setelah itu beliau tidaklah merasa sakit.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah edisi 12/Th.IV/1421-2000. Diterjemahkan secara ringkas oleh Aris Munandar bin.S.Ahmadi al-Lamfuji, Penerbit Yayasn Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
__________
Footenotes
[1]. Ibnul Qayyim dalam At-Turuq Al Hukmiyah fi Siyasah asy-Syar'iyah hal 322-325
[2]. Lihat Zaadul Ma'ad 3/581