Kamis, 19 Desember 2013

CONTOH ARTIKEL INFORMASI SEPUTAR DUNIA PENDIDIKAN



Plagiasi, Fenomena Gunung Es di Dunia Pendidikan


Lagi, kita dikejutkan dengan berita miring dari dunia pendidikan. Sebagaimana dimuat harian nasional Jawa Pos (3/10), selain masalah pemalsuan ijazah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) juga menemukan adanya seratus pendidik yang diduga menjiplak karya ilmiah untuk syarat kenaikan jabatan, sebagaimana dikatakan oleh Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ditjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Supriadi Rustad.

Para pendidik di kalangan universitas, nekad memalsu isi jurnal ilmiah yang menjadi syarat kenaikan pangkat, dengan motif tidak hanya mengejar besarnya tunjangan atas jabatan baru, tetapi lebih kepada prestise yang akan diperoleh yang bersangkutan. Pemalsuan tidak hanya dalam bentuk buku, namun juga dalam bentuk jurnal online di Indonesia.

Kasus tersebut, sejatinya hanyalah fenomena gunung es dalam pendidikan di Indonesia. Artinya kasus penjiplakan karya ilmiah di kalangan pendidik sudah terjadi secara masif, tidak hanya di kalangan pendidikan tinggi saja, melainkan juga marak di kalangan guru di lingkungan pendidikan dasar dan menengah. Pengalaman penulis sebagai seorang guru mempertontonkan hal itu. Setiap menjelang kenaikan pangkat atau akan penilaian kinerja guru, maka guru diharuskan memiliki produk karya ilmiah dalam jumlah tertentu, bila tidak ingin nilai angka kreditnya jeblok. Jumlah angka kredit yang kurang dari ketentuan, berkonsekuensi atas tertundanya kenaikan pangkat atau dibatalkannya tunjangan profesi pendidik. Konsekuensi itulah yang menyebabkan banyak guru menempuh jalan pintas dengan menjiplak karya orang lain atau kita kenal dengan istilah plagiasi.

Modus plagiasi yang dilakukan mayoritas pendidik antara lain: menyalin sebagian atau keseluruhan karya orang lain, kemudian menggantinya dengan namanya sendiri atau memesan karya ilmiah pada orang lain. Di kalangan pendidik, ini populer dengan istilah njahitke (menjahitkan, Jawa). Plagiasi tidak hanya melanggar norma dan etika dalam kaidah pendidikan, namun juga konten keilmiahannya sangat diragukan. Penulis mengenal seorang teman yang berprofesi sebagai tukang jahit karya ilmiah baik penelitian tindakan kelas (PTK), skripsi atau tesis. Dari pengakuannya, ternyata karya-karya itu hanya dibolak-balik variabelnya, sedangkan analisisnya tidak menggunakan data riil, melainkan hanya menggunakan data karangan yang tidak mendasar. Karena dibuat tidak melalui prosedur dan kaidah penelitian ilmiah yang umum, maka hasil penelitian ini sangat tidak layak dijadikan rujukan perbaikan pendidikan.

Mengapa para pendidik menempuh 'jalan sesat' ini? Sudah tumpulkah nurani para guru-guru kita? Ataukah ada permasalahan kompleks yang sedang mendera pendidikan di Indonesia? Menurut penulis setidaknya ada 3 hal yang menyebabkan maraknya kasus ini.

Pertama, kemampuan menulis guru rendah. Walaupun belum pernah di adakan survei tentang kemampuan menulis guru, namun fakta di lapangan sangat mendukung hipotesa tersebut. Di sekolah penulis yang berjumlah 40 orang guru, lebih dari tiga perempatnya belum pernah menulis, baik artikel, penelitian tindakan kelas (PTK) maupun karya ilmiah lainnya. Parahnya, banyak guru yang tidak mau belajar menulis. Guru merasa 'nyaman' dengan kondisi ini.

Kedua, rendahnya pemahaman guru tentang etika menghargai karya orang lain. Guru tidak merasa malu dan bersalah ketika melakukan plagiasi. Bahayanya, bila ini menjadi 'budaya', maka tidak saja akan menyuburkan praktek jiplak-menjiplak, melainkan juga bisa menggiring para guru untuk melakukan pelanggaran pidana yang berkonsekuensi hukum.

Ketiga, adanya tuntutan regulasi. Sebagaimana kita ketahui, telah terbit Peraturan Menteri Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, Peraturan Bersama Mendiknas dan Kepala BKN Nomor 03/PB/2010 dan Nomor 14 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 35 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Aturan baru yang berlaku efektif per 1 Januari 2013 tersebut, intinya menyatakan bahwa untuk kenaikan pangkat jabatan fungsional guru serendah-rendahnya golongan III/b diwajibkan membuat karya inovatif berupa penelitian, karya tulis ilmiah, alat peraga, modul, buku atau karya teknologi pendidikan yang nilai angka kreditnya disesuaikan. Bagi guru yang tidak memenuhi angka kredit yang dipersyaratkan, kenaikan pangkatnya bisa tertunda dan kariernya terancam mandek.

Di sinilah hukum ekonomi berlaku. Pertalian tiga hal, tuntutan adanya karya ilmiah guna memuluskan karier, ketidakmampuan guru dalam hal menulis serta rendahnya pemahaman guru tentang etika menghargai karya orang lain, memunculkan fenomena tukang jahit. Selama masih ada permintaan dari para guru akan karya ilmiah abal-abal ini, maka sampai kapanpun fenomena tukang jahit akan tumbuh subur.

Lalu, apa solusinya? Setidaknya ada 3 pihak yang mestinya berkewajiban untuk merubah fenomena ini. Pertama, guru sendiri. Pendidik harus segera menyadari kekeliruannya, kemudian meningkatkan kemampuan menulis dengan berlatih, berlatih, dan berlatih. Menurut Maksum, redaktur senior Jawa Pos, narasumber sebuah diklat jurnalistik yang penulis ikuti beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa menulis bukan bakat, melainkan keterampilan. Agar bisa menulis dengan baik seseorang tidak harus memiliki bakat, cukup berlatih terus-menerus, dan siap dikritik. Dari sisi moral, pendidik harus meng-upgrade moralnya, agar mempunyai rasa malu ketika melakukan plagiasi. Rasa malu itu harus kita internalisasi dalam diri kita secara sadar dan terus-menerus, hingga pada saatnya muncul paradigma baru bahwa plagiasi adalah tindakan yang sangat memalukan.

Kedua, pemerintah. Sebagai pemegang regulasi yang mengatur jutaan guru, pemerintah dalam hal ini Kemdikbud harus konsisten dalam menjalankan aturan terkait dengan nilai angka kredit guru, mampu membuat terobosan guna memacu kemauan dan kreativitas guru dalam hal menulis karya ilmiah, serta menghukum pendidik yang terbukti melakukan plagiasi.

Ketiga, masyarakat. Kepedulian masyarakat dalam masalah moral pendidik, dapat dilakukan dengan melaporkan para pelaku yang terbukti melakukan plagiasi, kepada pihak yang berkepentingan. Sikap lebih tegas masyarakat dengan menghukum secara moral sebagai 'guru cacat' kepada para pelaku juga diperlukan, guna membuat efek jera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar